Mohon tunggu...
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki Mohon Tunggu... Dosen - Hidup ini layaknya cermin, apa yang kita lalukan itulah yang nampak atau kita hasilkan

Memiliki banyak teman adalah kebahagiaan yang tak terkira. Senyum selalu dalam menjalani hidup akan memberi makna yang membekas dalam tiap bait hari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Itu Tidak Berani Saja!

17 Oktober 2016   17:42 Diperbarui: 17 Oktober 2016   18:01 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia adalah seorang remaja berumur 20 tahun. Umurku lebih tua 15 tahun darinya. Namun, yang terkesan saat pertemuanku dengannya, ia begitu tenang dan selalu tersenyum. Sesuatu yang membuatku kagum dengannya, ia memiliki sudut pandang yang tak pernah ku dengar dari orang lain. Ia begitu dewasa tentang perasaan yang dimiliki. “Apakah ia sudah piwai dalam rasa?” tanyaku dalam benak saat berbincang masalah yang kecil dengannya. Bagiku ia adalah orang asing yang kemarin aku temui kebetulan saja, dikarenakan ia satu kos dengan keponakanku di Malang.

Aku bertemu pada waktu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Pertemuanku dengannya hanya kebetulan saja. Dan itu bagian dari perjalanan wisudaku di Malang. Mungkin aku perlu bercerita kenapa aku tiba-tiba di Malang.

Kepergianku ke Malang disebabkan kampus yang tak mampu mewisudakan kami di tempat yaitu di Sumbawa. Kampus di Sumbawa tidak mampu mewisudakan kami di tempat karena beberapa faktor. Pertama aku kuliah di cabang. Kedua jumlah kami yang wisuda di cabang tidak mencukupi standar jumlah wisuda. Ketiga sudah hukum wajib mahasiswa cabang harus datang ke pusat untuk diwisudakan.

Mau tidak mau kami harus berangkat ke Malang yaitu sebuah kota yang ku tahu namanya saja sedari dulu. “Ternyata ada nama kota Malang”. Pikirku saat mulai masuk kuliah. Kata malang yang ku tahu berarti kota yang selalu tidak baik, selalu mendapat kegagalan atau di tengah-tengah. Itu arti yang ku tahu selama menjadi manusia di dunia.

Bagaimana mungkin kota itu  ku tahu, TV saja aku tidak punya, apa lagi TV, lantaran listrik yang belum merata di Indonesia atau kesalahan tempat tinggalku terlalu terpencil. Itu memang kesalahanku yang lahir di daerah terpencil atau kesalahan pemerintah yang tidak mau menjangkau tempatku. Ahh..aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya menyalahkan diriku yang primitif dengan kota Malang yang akan kudatangi besok. Andai saja aku mengetahui takdirku akan ke kota Malang, mungkin aku akan banyak bertanya atau membeli peta Indonesia untuk mengetahui posisi kota Malang tersebut. Ahh..lagi-lagi aku sepertinya aku menyalahkan tuhan atas takdir baik yang diberikan. Takdir manusia memang tidak bisa dibaca.

Perjalanan ke kota Malang begitu menyenangkan. Sebagai orang yang primitif dari bagian pulau Sumbawa yang sangat terpencil dan pesisir, ini merupakan perjalanan pertamaku ke bagian timur Jawa.

Mulai dari perjalanan dari Sumbawa dengan menaiki kapal laut, kemudian naik bus menuju kota Praya temapat bandara, lalu naik pesawat di Bandara Internasional Lombok dan diterbangkan selama 45 menit.

Setelah turun dari pesawat, lalu naik travel menuju kota Malang. Kalau  dikalkulasikan waktu yang ku habiskan dari Sumbawa, aku menghabiskan waktu selama satu hari-satu malam, atau sama dengan 24 jam.

Semua alat transportasi yang ku gunakan tersebut adalah baru. Karena ini pertama kalinya. Pikirku, “ternyata menjadi orang kaya itu mudah sekali. Dengan memiliki uang sedikit saja, kita bisa kaya seketika. Dengan menaiki, bus, taxi, kapal laut, pesawat, dan mobil travel”. Selama aku hidup bertahun-tahun, di atas kekayaan orang lain, baru kali ini aku merasakan kaya. Ini kenyataan yang kurasa. “Begini ternyata rasanya hidup menjadi kaya!” Pikirku selama perjalanan menuju Malang.

Kembali aku ceritakan seorang remaja yang ku maksud, namanya Ikhlas. Dia sedang menyelesaikan tugas akhirnya sekarang. Anaknya sangat periang. Di wajahnya tergambar ketenangan. Di senyumnya tersungging senyuman keindahan. Dari pemikirannya, segala masalah bisa diselesaikan.

Aku bertemu dengannya hanya dua hari. Hari pertama ia hanya menanyakan apakah aku sudah menikah dan apa pekerjaanku. Akupun bercerita tentang semua yang kumiliki pada hal-hal yang pantas diceritakan. Ia begitu antusias mendengar semua ceritaku yang kadang ngelantur kesana kemari sejak bertemu. Dan aku sangat terbuka padanya, kerana aku percaya padanya. Orangnya memang asik diajak bicara.

Aku bercerita banyak padanya tentang perasaan yang tak bisa aku katakan pada semua perempuan yang ku cintai. Itu kekurangan yang ku miliki selama hidup 35 tahun. Sampai pada hari kedua kebersamaanku dengan Ikhlas. Aku tertegun mendengar pertanyaannya dengan penuh kepolosan dan penerimaanya padaku.

“Apakah bapak ingin saya jujur, tentang kekurangan bapak? Tanyanya berempati atas masalahku yang tidak menikah-menikah.

Aku sempat diam seribu bahasa atas pertanyaannya. Bagiku itu pertanyaan yang sangat biasa, namun penuh empati. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku selama ini yang tidak bisa aku selesaikan. Diaa lagi mengatakan alasan dan maksudnya kenapa dia bertanya seperti itu.

“Mohon maaf pak, itu pertanyaan yang tidak pantas saya tanyakan pada bapak. Saya hanya berempati sama orang yang saya anggap sahabat dan teman walaupun kita berjumpa selama dua hari ini. Sampai kapanpun saya tidak akan melupakan wajah bapak. Itu prinsip hidup saya pak. Apakah bapak ingin saya jujur apa kekurangan bapak selama ini?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Ya….”. Jawabku setelah berpikir sejenak.

“Bapak penakut dalam masalah rasa. Bapak hanya berani mengungkapkan sesuatu yang sifatnya gombal pada orang yang tidak bapak sukai atau bapak tidak punya rasa cita”

Lagi-lagi ia bisa mengetahui masalahku selama ini. “Memang itu yang aku lakukan, aku hanya punya keberanian pada orang yang aku tidak sukai atau orang yang  kuanggap teman”. Jelasku padanya.

“Itu kekurangan yang harus dibuang pak. Saya mengatakan kekurangan, karena itu akan menyiksa bapak selama bapak tidak punya keberanian. Bapak akan selamanya tidak akan bisa menikah kalau bapak tidak punya kebenarian melawan kekuarangan itu. Coba bapak beranikan diri satu langkah saja, maka bapak akan berani pada seribu langkah berikutnya. Mungkin setiap orang yang baru merasakan cinta akan mengalami seperti yang bapak rasakan. Perbedaannya kita dengan orang lain dalam masalah ini adalah keberanian itu saja pak. Kita selalu tidak realistis tentang apa yang kita rasakan. Rasa yang jujur dalam hati sering kali kita bungkus dengan tindakan yang bohong saat bertemu dengan orang yang kita cintai. Benarkan pak?”

“Ya..benar sekali”. Lagi-lagi aku membenarkan katanya yang seolah-olah mendikte masalahku satu-persatu.

“Coba bapak beranikan diri satu kali saja untuk jujur pada orang yang bapak sukai. Bapak belum terlambat, karena wajah bapak masih muda walaupun bapak sudah berumur 35 tahun. Maaf pak ya, umur bapak sudah senja. Sudah saatnya bapak memikirkan keturunan dan membahagiakan orang tua. Saya yakin bapak sangat diinginkan untuk segera menikah oleh saudara maupun orang tua bapak. Bukan begitu kan pak?”

“Ya…”. Lagi-lagi saya menjawab dengan kata yang sama.

“Saya punya analogi pak dalam masalah ini. Mungkin ini akan membuat kita yakin atas kebesaran tuhan. Bukan bermaksud menggurui bapak nih. Kita sama-sama ketahui pak, bahwa tidak ada jalan yang tidak terbuka. Tidak ada masalah yang tidak selesai. Tidak ada mahluk yang tidak diberi rizki selama kita mencari dan terus mencari. Analogi yang saya maksud adalah mana duluan pak, apakah kita cari rumput dulu baru membeli kambing atau kambing dulu yang kita beli baru mencari rumput?”

“Pertanyaan yang sangat langka. Sejenak saya berpikir tentang pertanyaan yang dilontarkan kepadaku. “Kambing dulu harus ada baru kita cari rumput”.

“Benar sekali jawaban bapak. Begitu juga menikah pak. Kita harus menikah dulu baru mencari nafkah atau beristri dulu baru mencari rizki. Boleh-boleh saja kita mencari rizki, setelah mampu dan matang, baru kita menikah. Tapi kalau terlalu memikirkan rizki mulu, sepertinya kita tidak yakin dengan kebearan tuhan. Bahwa Dia maha memberikan rizki. Dan kita tidak akan pernah punya keberanian untuk menikah pak”.

Lagi-lagi ia menyadarkanku. Bahwa selama ini aku masih ragu dengan diriku dan tuhan yang kuyakini besar dan Maha kuasa atas segala sesuatu.

“Cuman itu mungkin pendapat saya pak atas masalah bapak selama ini. Itu juga yang menjadi filing saya saat bapak bercerita masalah rasa kemarin maupun hari ini. Karena bapak akan berangkat pulang sore ini ke Sumbawa, saya berharap bapak berpikir selama perjalanan sambil menikmati pemandangan jalan Jawa Timur. Semoga perjalanan bapak selamat tanpa rintangan. Aamiin…”.

***

Selama perjalanan dengan bus Titian Mas. Saya berpikir keras atas pernyataan Ikhlas “Bapak kurang berani jujur, coba bapak beranikan diri satu kali saja pada orang yang bapak suka”. Pernyataan itu selalu tergiang menyiksa kepalaku. Pernyataan itu benar adanya, selama ini aku tidak pernah berani mengungkapkan rasa cinta yang kumiliki. Sehingga banyak diantara orang yang kucintai diambil duluan oleh orang lain. Lantaran penyakit tidak berani ini. Aku berjanji pada hidupku mulai hari ini untuk berani mengatakan dengan jujur pada perempuan manapun yang kucintai. Aku tidak ingin dikatakan orang yang tidak normal dan lain sebagainya. Telat menikah memang penyakit yang menyiksa. Itu yang ku alami selama 35 tahun. Sudah saatnya aku tidak memikirkan apakah aku diterima atau ditolah oleh orang yang kucintai . Usiaku sudah senja, sudah saatnya saya jujur dan berani. Bisa-bisa aku tidak akan pernah merasakan pernikahan kalau aku seperti ini terus.

Bus pun melaju bersama keberaniannya.

Senin, 17 Oktober 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun