Aku bercerita banyak padanya tentang perasaan yang tak bisa aku katakan pada semua perempuan yang ku cintai. Itu kekurangan yang ku miliki selama hidup 35 tahun. Sampai pada hari kedua kebersamaanku dengan Ikhlas. Aku tertegun mendengar pertanyaannya dengan penuh kepolosan dan penerimaanya padaku.
“Apakah bapak ingin saya jujur, tentang kekurangan bapak? Tanyanya berempati atas masalahku yang tidak menikah-menikah.
Aku sempat diam seribu bahasa atas pertanyaannya. Bagiku itu pertanyaan yang sangat biasa, namun penuh empati. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku selama ini yang tidak bisa aku selesaikan. Diaa lagi mengatakan alasan dan maksudnya kenapa dia bertanya seperti itu.
“Mohon maaf pak, itu pertanyaan yang tidak pantas saya tanyakan pada bapak. Saya hanya berempati sama orang yang saya anggap sahabat dan teman walaupun kita berjumpa selama dua hari ini. Sampai kapanpun saya tidak akan melupakan wajah bapak. Itu prinsip hidup saya pak. Apakah bapak ingin saya jujur apa kekurangan bapak selama ini?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Ya….”. Jawabku setelah berpikir sejenak.
“Bapak penakut dalam masalah rasa. Bapak hanya berani mengungkapkan sesuatu yang sifatnya gombal pada orang yang tidak bapak sukai atau bapak tidak punya rasa cita”
Lagi-lagi ia bisa mengetahui masalahku selama ini. “Memang itu yang aku lakukan, aku hanya punya keberanian pada orang yang aku tidak sukai atau orang yang kuanggap teman”. Jelasku padanya.
“Itu kekurangan yang harus dibuang pak. Saya mengatakan kekurangan, karena itu akan menyiksa bapak selama bapak tidak punya keberanian. Bapak akan selamanya tidak akan bisa menikah kalau bapak tidak punya kebenarian melawan kekuarangan itu. Coba bapak beranikan diri satu langkah saja, maka bapak akan berani pada seribu langkah berikutnya. Mungkin setiap orang yang baru merasakan cinta akan mengalami seperti yang bapak rasakan. Perbedaannya kita dengan orang lain dalam masalah ini adalah keberanian itu saja pak. Kita selalu tidak realistis tentang apa yang kita rasakan. Rasa yang jujur dalam hati sering kali kita bungkus dengan tindakan yang bohong saat bertemu dengan orang yang kita cintai. Benarkan pak?”
“Ya..benar sekali”. Lagi-lagi aku membenarkan katanya yang seolah-olah mendikte masalahku satu-persatu.
“Coba bapak beranikan diri satu kali saja untuk jujur pada orang yang bapak sukai. Bapak belum terlambat, karena wajah bapak masih muda walaupun bapak sudah berumur 35 tahun. Maaf pak ya, umur bapak sudah senja. Sudah saatnya bapak memikirkan keturunan dan membahagiakan orang tua. Saya yakin bapak sangat diinginkan untuk segera menikah oleh saudara maupun orang tua bapak. Bukan begitu kan pak?”
“Ya…”. Lagi-lagi saya menjawab dengan kata yang sama.