"Baik, Mbak, saya belikan. Maaf saya masuk untuk ambil tabungnya."
Sopan dan santun cara bicaranya, Mang Dede, pria paruh baya dengan memakai celana pendek dan kaos oblong. Ditemani sebatang rokok yang tidak pernah lepas dari tangannya.
Serta merta, dia masuk ke dapur dan mengambil gas elpiji kosong. Tidak sampai tiga puluh menit, Mang Dede sudah mengetuk pintu dan siap memasang tabung gasnya.
"Makasih ya Mang." Â Uang kembalian yang ia berikan kepadaku tidak terima. "Udah buat mamang beli rokok aja"
Senyuman manis tersungging di wajahnya yang sudah mulai keriput tapi masih terlihat ganteng. Perawakannya tinggi dan selalu memakai jam tangan. Pokoknya masih keren. Andai dia pakai jas pasti banyak wanita yang memujanya.
Setiap hari aku melihat si Mamang duduk di teras biliknya dengan asap rokok mengepul di udara, secangkir kopi tubruk yang aromanya sedap sekali sampai-sampai aku ikut mencium aromanya dan TWS (true wireless stereo) alias dua alat perangkat audio lewat bluetooth  di kupingnya, entah apa yang ia dengarkan.
Sering terpikir olehku kenapa Mamang ini sendirian, mengabdikan dirinya pada seorang pengusaha kontrakan dua puluh pintu yang jarang menagih pada orang-orang yang menyewa tempatnya. Seolah orang itu tidak butuh duit. Tapi mengapa?
Mengapa Mang Dede tiap hari di sini, libur lebaran pun tidak pernah pulang kampung. Ingin rasanya bertanya kepadanya. Mungkinkah dia tidak punya keluarga? Tidak adakah anak atau istri yang dirindukan? Atau mungkin ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya setiap kali pulang ke kampung halamannya. Hari demi hari berlalu begitu saja, tapi Mang Dede terus membantu dan melayani mereka yang mengontrak rumah itu. Baik sekali orang itu.Â
Suatu kali Mang Dede naik pohon jambu depan pintu kontrakanku, nomor 7.Â
"Hati-hati manjatnya, Mang," teriakku spontan.Â
Setelah mengambil beberapa jambu akhirnya ia turun dengan aman.