Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tolak Politik Uang, Caranya?

25 Oktober 2024   10:40 Diperbarui: 25 Oktober 2024   10:58 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebulan lagi seluruh daerah di Indonesia akan menyelenggarakan kompetisi politik untuk memilih kepala daerahnya masing-masing. Tepatnya tanggal 27 November nanti, ratusan kandidat akan memperebutkan 37 kursi gubernur, 93 kursi walikota dan 415 kursi bupati. Di hari itu, jutaan orang akan berbondong-bondong mendatangi tempat pemilihan suara (TPS) untuk menyalurkan pilihannya.

Kompetisi politik lima tahunan ini harus dilakukan sebagai pelaksanaan demokrasi yang dianut negara kita. Selain itu, juga untuk mengukur sekualitasapa pelaksanaan demokrasi tersebut. Salah satu tolok ukur yang akan mengurangi kualitas demokrasi itu adalah politik uang atau money politic.

Pengertian politik uang menurut Wikipedia,

"Politik uang (money politic) adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan."

Sedangkan menurut situs kajianpustakacom, politik uang atau money politic adalah suatu upaya mempengaruhi perilaku masyarakat/pemilih menggunakan imbalan materi, balik milik pribadi maupun partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters) dengan konsepsi bahwa materi tersebut dapat mengubah keputusan dan dijadikan sebagai wadah penggerak perubahan.

Sepertiga Pemilih Indonesia Terima Suap Saat Pemilu

Fenomena politik uang ini telah memancing seorang pengamat politik untuk menelitinya. Adalah Burhanuddin Muhtadi yang melakukan penelitian untuk program doktoralnya. Dari hasil penelitiannya itu ia menemukan fakta bahwa satu di antara tiga orang pemilih di Indonesia terlibat jual-beli suara (politik uang) saat Pemilu.

Kenyataan itu kemudian menempatkan Indonesia ke peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika Pemilu, setelah Uganda dan Benin.

Burhanudin  Muhtadi mendapatkan kesimpulan tersebut setelah mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di seluruh Indonesia.

Walaupun praktik jual beli suara (politik uang) ini sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Namun, di masa Orde Baru tidak terjadi, karena dianggap tidak ada untungnya dalam sistem pemilu yang selalu dimenangkan oleh partai pemerintah (Golkar).

Di masa reformasi, praktik politik uang hampir tidak terdengar di Pemilu 1999. Saat itu, kompetisi terjadi antar partai, bukan antar kandidat. Politik uang baru terjadi di Pemilu 2009 setelah KPU mengubah sistem Pemilu Legislatif menjadi terbuka, dengan Caleg yang jadi adalah yang memperoleh suara terbanyak. Hal ini menyebabkan, si Caleg tidak hanya bersaing dengan calon lain dari partai yang berbeda, tetapi juga bersaing dengan kandidat lain dalam satu partai. Dan, persaingan ini disinyalir yang menyuburkan praktik politik uang.

Praktik politik uang semakin parah di Pemilu-Pemilu selanjutnya sampai sekarang. Dalam penelitiannya selama 13 bulan pada 2013 dan 2014, Burhanudin Muhtadi menemukan bahwa kebanyakan para kandidat ini sangat terbuka dalam mendiskusikan berapa banyak uang yang mereka bagikan kepada para pemilih dan bagaimana mereka terlibat dalam praktik jual beli suara ini.

Sehingga, boleh dikatakan sangat sulit mencari seorang anggota legislatif -- baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota -- yang tidak melakukan politik uang. Memang sangat sulit dibedakan ketika seorang Caleg mengeluarkan uang saat kampanye, apakah itu uang untuk praktik jual beli suara (politik uang) atau untuk ongkos politik (biaya sosialisasi/kampanye). Kemampuan membedakan politik uang dengan ongkos politik harus dimiliki seorang caleg supaya tidak terjebak pada politik uang.

Cara Mengatasi Politik Uang

Sebagaimana transaksi jual-beli, ada dua pihak yang terlibat dalam politik uang. Pertama, pihak pemberi uang. Dalam konteks Pilkada, bisa kandidat, bisa tim suksesnya. Kedua, pihak penerima uang (masyarakat). Dilihat dari dua pihak tersebut, cara mengatasi politik uang yang paling memungkinkan adalah dengan memperkuat kesadaran pihak penerima (masyarakat) untuk tidak mau menerima.

Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) memiliki tanggung jawab yang besar untuk melakukan penyadaran pada masyarakat, supaya praktik politik uang tidak terjadi. Selain itu, kemampuan Bawaslu pun dalam melakukan tugasnya (mengawasi) perlu ditingkatkan, sebagaimana yang disampaikan Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, "Penegakan sejumlah undang-undang terkait serta peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam melaksanakan regulasi pengawasan Pemilu menjadi kunci dalam mencegah politik uang."

Oleh karenanya, sebagaimana dikutip dari antaranewscom, Bawaslu menerapkan enam strategi untuk mencegah praktik politik uang yang berpotensi terjadi dalam berbagai modus saat Pemilu/Pilkada Serentak 2024. Keenam strategi cara mengatasi politik uang tersebut adalah:

  • Menggencarkan sosialisasi dan kampanye mengenai bahaya politik uang.
  • Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pengawas pemilu tentang politik uang.
  • Memperkuat kesadaran masyarakat tentang sanksi hukum melakukan politik uang.
  • Menegakkan peraturan yang menjadi dasar larangan politik uang.
  • Meningkatkan pengawasan partisifatif dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga masyarakat.
  • Memperkuat sinkronisasi data pengawasan dari pusat hingga daerah.

Menariknya, ke-6 strategi di atas sudah dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten Demak sejak Pemilu 2019.

Upaya yang dilakukan Bawaslu Kabupaten Demak adalah mendeklarasikan desa anti politik uang. Masyarakat desa dinilai cukup rentan dalam persoalan politik uang. Bawaslu Demak tidak hanya sekadar memberikan himbauan kepada masyarakat, melainkan juga turun langsung dengan membentuk gerakan anti politik uang di tingkat desa.

Gerakan ini menyasar masyarakat desa dan kelurahan untuk bersama-sama membasmi praktik politik uang. Dari 249 desa/kelurahan di Kabupaten Demak, saat itu baru 14 desa yang sudah bekerjasama dengan Bawaslu Kabupaten Demak mendeklarasikan diri sebagai desa pengawasan dan desa anti politik uang. Setidaknya dengan deklarasi tersebut bisa memacu dan menularkan "virus" tersebut ke desa-desa yang lain di wilayah Kabupaten Demak untuk turut serta mengawal pemilu tanpa politik uang.

Bawaslu mengajak masyarakat bersama-sama memilih calon pemimpin atau wakil rakyat dengan hati nurani dan akal sehat. Memilih pemimpin atau wakil rakyat dengan memperhatikan visi dan misi, serta rekam jejaknya, bukan karena suap, sogokan, dan praktik politik uang lainnya.

Apa yang telah dilakukan Bawaslu Kabupaten Demak ini perlu diikuti oleh Bawaslu-Bawaslu di daerah lain, sehingga Pemilu dan Pilkada tidak lagi dinodai oleh praktik politik uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun