Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warung di Tengah Hutan

13 Agustus 2024   22:26 Diperbarui: 13 Agustus 2024   22:27 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu sudah memasuki waktu salat isya waktu mobilku mulai memasuki wilayah Cianjur. Gara-gara mobil mogok begitu keluar tol Padalarang, kemungkinan sampai di tujuan menjelang tengah malam. Walaupun sudah masuk wilayah Cianjur, tetapi kampung yang akan menjadi tujuan KKN-ku berada di wilayah Cianjur Selatan, perlu waktu tiga sampai empat jam lagi.

"Masih jauh, Ndi?" Bambang memecah kesunyian setelah hampir setengah jam kami tidak saling berbicara, setelah berhenti untuk salat magrib.

"Paling juga dua jam lagi!" Joko menjawab sambil melirik arloji di tangan kirinya.

"Dua jam pale, lu!" jawabku sambil terkekeh, sementara pandangan tetap fokus ke depan. Memasuki wilayah pedesaan jalan aspal sudah mulai tidak mulus. Sudah banyak lubang di sana-sini.

"Emang masih jauh?" tanya Joko.

"Kemungkinan jam sepuluhan kita sampai," jawabku.

Aku, Andi, dan dua temanku, Joko dan Bambang, sedang menuju kampung Cicadas. Di sana nanti kami akan bergabung dengan empat temanku yang sudah berangkat kemarin untuk melaksanakan KKN. Kami tidak begitu beruntung, karena mendapatkan Lokasi KKN yang jauh dari kota. Sebuah kampung yang ada di ujung Cianjur yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung.

Kami sudah memasuki daerah sepi. Kiri kanan jalan hanya kebun dan beberapa tempay lebih tepat di sebut hutan. Pohon-pohon besar dan rimbun, ditambah tidak ada penerangan jalan, membuat suasana tambah sunyi. Memang beberapa kali kami melewati rumah-rumah penduduk atau warung yang tutup.

Baca juga: Gara-gara Kabisat

"Semoga di depan ada warung yang buka," kata Joko.

"Emang kenapa?" tanya Bambang.

"Haus nih, tadi kita lupa beli air!"

"Tahan, lah, paling satu setengah jam lagi," jawabku.

"Haus kayaknya bisa ditahan, tapi ini nih, urinku sudah gak bisa ditahan."

"Ah, dasar beser, lu!" balas Bambang.

Lima belas menit kemudian.

"Alhamdulillah ..., kayaknya di depan ada cahaya lampu, semoga itu warung," kataku sambil terus mengendalikan setir.

"Semoga saja itu warung, dan buka." Joko terlihat senang.

Semakin mendekat semakin jelas, cahaya itu berasal dari lampu yang menggantung di depan sebuah warung. Saya yakin itu sebuah warung, karena di depannya ada tempat duduk lebar, yang bisa diduduki empat atau lima orang pengunjung warung.

"Buka nggak, Ndi?" tanya Joko.

"Belum kelihatan, semoga saja."

Setelah sampai di depan warung, ternyata masih buka. Suasana sepi, tidak ada pengungjung. Setelah kami turun baru kelihatan ada dua orang tua, laki-laki dan Perempuan, di dalam warung. Karena kebelet ingin BAK, Joko langsung mendekat, "Permisi, Pak, Bu, boleh ikut ke kamar kecil?"

Kedua orang tua itu tidak menjawab, hanya mengangguk, yang perempuan menunjuk ke arah belakang warung. Joko langsung berjalan kea rah belakang warung.

"Kami juga mau beli air mineral, tiga botol saja," kataku seraya menyerahkan uang dua puluh ribuan.

Kedua orang itu lagi-lagi tidak menjawab, juga hanya mengangguk. Yang laki-laki kemudian berdiri mengambil tiga botol air mineral dan memasukkannya ke kantung plastik. Ia lalu menyodorkan ke arahku sekalian dengan uang kembaliannya lima ribu.

Karena Joko sudah kembali, aku pun pamit, "Permisi, Pak, Bu, kami akan melanjutkan perjalanan."

Untuk ketiga kalinya kedua orang itu tidak menjawab, hanya mengangguk.

Kami pun meneruskan perjalanan.

"Lu, ngerasa ada yang aneh, nggak, sama warung tadi?" Bambang bertanya setelah kami cukup jauh dari warung tadi.

"Aneh, gimana?" tanya Joko.

"Iya, Bro, aneh banget. Kedua orang tadi apa bisu, ya, tidak ngomong, cuma ngangguk-ngangguk," jawabku.

"Bukan itu saja," balas Bambang. "Kulihat mimik mukanya datar banget, nggak ada ekspresi. Terus matanya itu, lho. Tatapan mereka seperti melihat ke kejauhan. Ngeri banget, aku. Makanya aku diam aja agak jauh."

"Masa, sih?" Joko penasaran.

"Lu, kan, ke belakang tadi. Eh, terus bagaimana kamar mandinya, ada yang aneh, nggak?"

"Jujur, ya, serem banget gua, perasaan dingin banget di dalamnya, mana gelap lagi. Untung gua bawa HP."

"Aneh!" spontan mulutku mengucapkan itu. Selanjutnya karena terbawa suasana misterisu di warung tadi, kami pun terdiam selama perjalanan.  Bahkan sampai lupa dengan haus kami.

Satu jam kemudian mobilku memasuki wilayah kampung Cicadas. Dua orang temanku menyambut di depan gerbang kampung.

"Kok, lama?" tanyanya singkat.

"Mogok!" Bambang menjawag singkat pula.

Kami langsung diajak ke rumah kepala kampung yang Bernama Pak Burhan. Setelah memperkenalkan diri dan berbincang beberapa saat, kami pun beristirahat di rumah yang sudah disediakan.

Keesokan harinya, setelah sarapan, kami kembali ke rumah Pak Burhan untuk menjelaskan apa saja yang akan kami kerjakan selama KKN.

"Syukurlah. Kampung ini sudah lama tidak kedatangan mahasiswa yang KKN. Semoga kedatangan Anda semua bisa membantu penduduk kampung Cicadas ini," kata Pak Burhan setelah mendengarkan penjelasan kami.

"Oh ya, Pak. Kampung Cicadas ini kelihatannya jauh dari kampung-kampung yang lain, ya?" tanya Joko.

"Iya, kampung terdekat di sebelah selatan sana ada mungkin empat kilo, ke arah utara lebih jauh lagi. Tadi malam mungkin kelewatan sama Anda."

"Betul, Pak. Gelap sekali selama perjalanan. Cuma terang sama lampu warung," balas Bambang.

"Warung?" tanya ketua kampung, roman mukanya seperti yang keheranan. "Warung yang mana?"

"Dari sini kira-kira satu jam perjalanan," jawab Bambang.

"Kalau dari sini setelah belokkan, Pak." Aku menambahkan, aku ingat sekali ada belokkan cukup tajam setelah meninggalkan warung tadi malam.

"Anda tidak salah?" tanya Pak Burhan lagi.

"Tidak, lah, Pak. Bahkan kami sempat berhenti untuk membeli air mineral," jelasku.

Pak Burhan terdiam. Beberapa jenak dia memandang wajahku, wajah Joko dan Bambang bergantian, lalu, "Kalian serius tadi malam mampir di warung itu?"

"Betul, Pak. Emangnya ada apa, Pak?" Aku merasa ada yang aneh dengan pertanyaan dan perubahan sikap Pak Burhan.

"Kalian tidak merasa ada yang aneh saat di warung itu?"

"Ya ada, sih. Kedua suami-istri penjaga warung itu sikapnya aneh, tidak bicara sedikitpun, dan tatapan matanya, seperti memandang yang jauh."

"Memang ada apa dengan warung itu, Pak?" Bambang jadi penasaran.

Pak Burhan tidak langsung menjawab. Sekali lagi ia menatap wajah kami bergantian. Kemudian bercerita, "Kalian jangan kaget, ya. Kalau memang warung itu yang dimaksud, warung itu sebenarnya sudah sebulan kosong. Warung itu dibakar oleh perampok, dan pemiliknya, suami-istri, mati dibunuh."

Tentu saja kami bertiga kaget mendengarnya. Joko bahkan sampai melotot dan mulutnya menganga.

"Hai, Ndi, semalam, kan, kamu nerima uang kembalian, coba lihat!" kata Bambang.

Aku pun segera merogoh saku celanaku, telapak tanganku menyentuh sesuatu tapi terasa bukan uang kertas. Karena penasaran langsung kukeluarkan.

"Hah ... daun?" Joko dan Bambang hampir berteriak.

Ya, ditanganku bukan uang lima ribu kembalian beli air mineral, tetapi sehelain daun yang sudah mengering.

"Hai, Jok. Coba kauambil air yang kita beli," perintahku pada Joko.

"Nggak mau, ah!"

"Biar aku saja!" Bambang setengah berlari menuju mobilku.

Setelah Kembali, Bambang meletakkan kantung plastik berisi air mineral yang dibeli tadi malam. Aku pun segera membukanya. Begitu terbuka, untuk kedua kalinya mata  kami terbelalak, kaget. Kantung plastik itu memang berisi botol air mineral, tapi kondisinya kotor dan berisi air keruh, seperti baru diambil dari tempat sampah.

"Tidak salah lagi," celetuk Pak Burhan pelan.

"Jad ... jadi ... yang semalam kami lihat itu ...." Joko tidak menyelesaikan kalimatnya, karena melihat Pak Burhan menganggukkan kepalanya.

***

Penulis: Urip Widodo, pensiunan BUMN, penulis frrelance, tinggal di Kota Tasikmalaya.

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun