Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gara-gara Kabisat

1 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 1 Agustus 2024   06:46 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pinggiran Kota London, 28 Februari 2024.

Langit malam London diselimuti awan kelabu, menambah kesan suram suasana lorong-lorong kota. Di sebuah rumah kecil di pinggir kota, beberapa orang sedang berkumpul, mereka duduk melingkari meja kayu. Di atas meja, hamper menutupi seluruh permukaan meja, terhampar kertas bergambar denah sebuah bangunan. Mereka sedang merencanakan sebuah aksi. Pete, pemimpin dari orang-orang itu, berdiri dengan keyakinan yang penuh semangat.

"Ini malam yang kita tunggu-tunggu, tidak akan ada yang bisa menghentikan kita," kata Pete dengan suara tegas. "Owen, kamu yakin sistem keamanan bank akan mati?"

Owen, dengan wajah yang sedikit gugup, mengangguk. "Ya, aku yakin. Setiap akhir bulan, setengah jam sebelum tanggal 1, sistem keamanan bank akan mati untuk pembaruan. Mereka melakukan ini untuk memeriksa dan memperbarui sistem. Saat itu, alarm, CCTV, dan semua sistem pengamanan lainnya akan mati total."

Pete memandang Owen dengan tajam. "Bagaimana kamu bisa yakin itu akan terjadi malam ini?"

Owen menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Aku bekerja di bagian IT dan telah memantau sistem ini selama beberapa tahun terakhir. Itu adalah prosedur rutin bank. Aku juga sudah melihat jadwal pembaruan untuk bulan ini. Semua sistem akan mati tepat pukul 23:30, dan akan kembali aktif setelah tengah malam. Ini adalah satu-satunya saat di mana kita bisa masuk tanpa terdeteksi."

Pete tersenyum puas, merasa yakin dengan penjelasan Owen. "Bagus. Maka kita harus bergerak cepat dan tepat waktu. Begitu sistem mati, kita punya setengah jam untuk masuk, ambil uang, dan keluar. Pastikan kalian semua siap."

Kelompok itu kemudian bergerak cepat menuju bank.

Sementara di dalam bank, seorang security bernama Robby, sedang menjalankan rutinitasnya saat piket. Ia tidak tahu bahwa malam itu, takdir akan membawanya ke dalam sebuah peristiwa yang tak terduga.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 23:55, para perampok memasuki bank dengan langkah tenang. Mereka mengenakan topeng dan membawa peralatan lengkap. Owen, yang mengenal setiap sudut bank, memandu mereka menuju brankas.

Sesampainya di depan brankas, Pete dan anggota kelompok lainnya mulai bekerja dengan cepat. Mereka mengeluarkan alat-alat pembongkar yang canggih, mencoba membuka kunci brankas yang berat itu. Owen berdiri di dekat mereka, memberikan instruksi dari pengetahuan yang dimilikinya sebagai pegawai bank.

Pete menatap jam tangan dengan cemas. "Kita punya waktu kurang dari setengah jam. Cepat, bongkar brankasnya!"

Suara dengungan mesin pembongkar pintu besi menggema di ruang brankas yang besar. Para perampok berkeringat, bekerja keras membuka brankas yang kuat itu. Namun, tiba-tiba, suara sirine keras menggelegar, memecah keheningan malam itu.

Owen terkejut, wajahnya pucat. Pete, dengan marah, menatap Owen dengan mata berapi-api. "Apa yang terjadi?! Bukankah seharusnya sistem mati?!"

Owen menelan ludah, matanya melebar karena ketakutan. "Sis ... sistem seharusnya mati ... Aku yakin sekali!"

Pete melangkah maju, menarik kerah baju Owen dengan kasar. "Jangan bohong padaku, Owen! Kita terjebak! Semua karena kesalahanmu!"

Owen tergagap, mencoba berpikir cepat. Dan kemudian, seperti kilatan petir, kesadaran menghantamnya. "Oh tidak ... Ini tahun kabisat," katanya dengan suara hampir berbisik. "Tahun ini bulan Februari sampai tanggal 29 ..., Kita salah menghitung. Sistem belum mati karena belum tanggal satu!"

Pete menggeram marah, melepaskan Owen dengan kasar. "Jadi kita terjebak di sini karena kamu tidak bisa menghitung hari dengan benar?!"

Kepanikan mulai menyebar di antara para perampok. Pintu-pintu bank terkunci otomatis, dan sistem keamanan yang aktif mulai mengunci mereka di dalam. Mereka mencoba membuka pintu, tapi semuanya sia-sia.

Di luar, Robby yang tengah berpatroli mendengar alarm. Ia segera menghubungi Jody, seorang polisi yang sudah lama menjadi rekannya dalam berbagai situasi genting.

"Jody, ada perampokan di bank! Aku butuh backup sekarang juga!" Robby berseru dengan nada serius.

Jody merespon cepat. Ia bersama timnya segera menuju lokasi. Dalam hitungan menit, mereka sudah mengepung bank tersebut. Robby dan Jody bertemu di pintu utama, dengan pandangan yang penuh kesiagaan.

"Kita harus masuk dan menangkap mereka. Jangan biarkan mereka kabur," kata Jody dengan tegas.

Mereka masuk melalui pintu belakang yang sudah dikuasai polisi. Perlahan, mereka mendekati ruang brankas. Para perampok, yang sudah kehabisan ide, mulai mencoba mencari cara lain untuk keluar. Pete mencoba menenangkan kelompoknya, tapi wajahnya memancarkan ketakutan.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita terjebak!" teriak seorang anggota perampok.

Tiba-tiba, pintu ruang brankas didobrak. Robby dan Jody berdiri di sana, dengan senjata terangkat. Pete dan kelompoknya terdiam. Tak ada jalan keluar. Mereka semua ditangkap tanpa perlawanan.

Di luar bank, para perampok dibawa keluar dengan tangan terborgol. Pete menundukkan kepala, wajahnya menunjukkan kekalahan dan penyesalan. Owen merasa hancur, menyadari betapa salahnya langkah yang diambilnya.

Robby dan Jody berdiri di dekat mobil polisi, mengamati situasi yang terkendali. Jody menepuk bahu Robby, "Kerja bagus. Tanpa kamu, mereka mungkin sudah berhasil kabur."

Robby tersenyum tipis, "Hanya melakukan tugas. Tapi malam ini, kita mendapat sedikit keberuntungan dengan alarm yang berbunyi."

Jody mengangguk setuju, "Ya, dan keberuntungan itu terjadi karena perencanaan yang buruk dari mereka. Bahkan dalam kejahatan, perlu ada perencanaan yang matang."

Pete, Owen, dan anggota lainnya dibawa masuk ke mobil polisi. Malam yang direncanakan sebagai aksi besar, berakhir dengan kegagalan total. Mereka terperangkap oleh kelalaian mereka sendiri, sebuah kesalahan fatal dalam perhitungan sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun