"Ya, suamiku. Kalau ini memang perintah dari Tuhanmu dan Tuhanku juga, pergilah! Karena aku yakin, Dia yang menyuruh engkau meninggalkan kami berdua, tidak akan menelantarkan kami. Jangan khawatirkan kami."
Kalimat tersebut, beberapa hari yang lalu, diucapkan oleh seorang wanita, yang sekarang sedang berdiri termangu. Wanita hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa, terdiam melihat bayi mungilnya yang tidak berhenti menangis sejak satu jam lalu.
Wanita itu tahu, bayinya menangis karena kehausan. Sejak kemarin persediaan air yang dibawanya habis. Tapi dia masih bisa memberi minum bayinya itu dengan air susu. Tapi hari ini, air susunya pun habis. Tidak ada lagi yang dapat diberikan kepada bayinga untuk menghilangkan dahaganya.Â
Wanita itu bukan tidak sayang pada bayinya, sehingga membiarkannya menangis. Dia hanya tidak tahu, apa yang mesti dilakukan untuk menghentikan tangisan bayinya. Beberapa hari lalu suaminya meninggalkannya, di tempat terpencil itu, yang jangankan ada orang lain, seekor kadal pun tidak ada. Sebuah tempat yang gersang, yang jangankan ada pohon kurma, sejumput rumput pun tidak ada yang tumbuh. Sejauh mata memandang, sekelilingnya, hanya ada lautan pasir.
Hanya karena ketaatan pada suami, ketawakalan, serta keyakinannya pada Allah swt, sehingga dia rela ditinggalkan di tempat terpencil itu. Sepeninggal suaminya, yang dilakukannya hanya duduk seraya memeluk bayinya. Berdua hanya memanfaatkan selimut tebal untuk melindungi mereka dari panas matahari di siang hari, dan angin dingin di malam hari.
Untuk satu dua hari, dia dan bayinya mampu bertahan. Namun tidak saat perbekalannya habis, seperti hari ini. Tangis bayinya semakin kencang, bahkan tidak hanya menangis, kedua kaki kecilnya menendang-nendang sampai keluar dari kain pembungkusnya. Melihatnya demikian, wanita itu semakin bersedih. Kedua pipinya mulai dialiri air mata. Bukan hilang keyakinannya pada Allah Sang Penguasa, melainkan sisi manusiawinya yang muncul.
Siapa yang tidak pilu melihat kondisi bayinya seperti itu. Mau tidak mau dia harus mencari air. Tapi ke mana?
Dalam keputusasaannya, wanita itu berlari, meninggalkan bayinya tergeletak begitu saja. Dia berlari ke bukit yang ada di sebelah kanannya. Dia berharap di tempat yang lebih tinggi dia dapat melihat lebih jauh, sehingga dapat melihat kalau-kalau ada khafilah yang berjalan.
Sesampai di bukit itu, dia celingukan, roman mukanya semakin menunjukkan kesedihan dan kekecewaan. Takada satu pun orang yang terlihat, apalagi khafilah. Kemudian dia melihat bukit lain. 'Barangkali dari bukit itu aku bisa melihat', pikirnya seraya langsung berlari ke arah bukit satunya.
Sampai di bukit kedua, hanya kekecewaan yang dia dapat. Sama seperti dari bukit pertama, takada apa pun terlihat, kecuali hanya hamparan pasir.