Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mukidi dan Mie Instan

4 April 2023   14:51 Diperbarui: 4 April 2023   15:03 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Mukidi muntah/sumber: TribunPekanbaru

(Mohon maaf di Samber THR hari ke-4 ini saya tidak menulis sesuai topik yang diminta admin K. Selain karena saya tidak pernah berkreasi saat merebus mie instan, juga karena tidak bisa bikin video. Saya akan menulis kisah Mukidi saja, masih ada hubungannya, sih, dengan mie instan)

Hari keempat puasa Mukidi terlihat lemas saat pulang kerja.

"Kenapa, Pah. Kok lemes gitu, banyak kerjaan ya?" tanya istrinya khawatir.

"Yah ... begitulah, Mah. Hari ini sibuk sekali," jawab Mukidi sambil berselonjor di karpet.

"Tapi Papah tetep puasa, kan?" tanya istrinya seraya melirik muka Mukidi.

"Pasti dong. Sebagai orang tua kita, kan, harus memberi contoh pada anak-anak. Masa harus berbuka." Mukidi menegakkan tubuhnya seraya menepuk dada.

Istrinya mengangkat dua jempolnya tanda kagum.

"Sebanyak apa pun pekerjaan, selemas bagaimanapun tubuh kita karena bekerja, tetep puasa, mah, jangan batal," lanjut Mukidi sambil kembali menepuk dada.

Baca juga: Setitik Kesombongan

"Wah, Papah memang hebat." Anak perempuannya yang sedang menggambar turut mengangkat jempolnya.

Mendapat dua jempol dari istri dan anak perempuannya, Mukidi semakin bersemangat berceramah. Intonasinya pun meninggi. Tak lupa kedua tangannya bergerak-gerak saat bicara, juga menepuk dada beberapa kali.

"Kamu pun, Nak. Harus semangat kalau puasa. Harus berusaha puasa sampai Maghrib, walaupun badan kita terasa lemes." Mukidi terus bicara, seolah merasa menjadi Pak Ustad yang suka ngisi majelis ta'lim tiap rabu sore.

"Sebagai orang yang beriman, godaan apa pun jangan sampai membuat kita batal puasa. Kita harus ... hek ... hek ...." Mukidi memegang lehernya dengan mata melotot.

"Pah ... Pah, kenapa, Pah?" Istri Mukidi kaget melihat kondisi suaminya.

Entah karena tangan kanannya menepuk dada terlalu keras, atau bicaranya terlalu cepat, leher Mukidi tercekat. Mukidi pun batuk-batuk jadinya, kedua tangannya terus memegang leher.

"Makanya kalau ngomong pelan-pelan," lanjut istrinya.

Merasa ingin muntah dan tidak tahan, Mukidi segera bangkit dan berlari ke kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara muntah-muntahnya. Sampai tiga kali terdengar oleh istri dan anaknya.

"Papah kenama, Mah?" kata anak Mukidi merasa khawatir.

Istri Mukidi tidak menjawab tetapi segera beranjak dari duduknya dan menyusul ke kamar mandi. Di kamar mandi terlihat Mukidi membungkuk-bungkukkan lehernya ke lantai kamar mandi. Istri Mukidi segera mengurut-urut bagian belakang leher Mukidi.

"Kamu itu, pah. Terlalu semangat kalau ceramah, Pake tepuk-tepuk dada segala." kata istrinya seraya memberinya handuk setelah Mukidi tidak muntah lagi dan membersihkan muka.

Keduanya lalu kembali ke ruang tamu. Mukidi berjalan pelan, istrinya sampai merasa perlu memapahnya.

"Sudah buka saja, Pah. Minum, ya?" ujar istri Mukidi.

Mukidi hanya menggeleng.

"Jangan dipaksain, kalau sakit." Istrinya memaksa.

Mukidi menggeleng lagi seraya merebahkan badannya di karpet.

"Ya sudah." Istri Mukidi lalu beranjak ke kamar mandi hendak membersihkan bekas muntah Mukidi.

Beberapa jenak kemudian, tiba-tiba istri Mukidi berteriak, "Pah ... Pah, sini deh!"

Mukidi yang hampir tidur terkaget dibuatnya. "Ada apa, Mah?"

"Sini!" Teriak istri Mukidi maksa.

Dengan lemas Mukidi menghampiri istrinya di kamar mandi.

"Ada apa, sih?" tanya Mukidi penasaran.

"Ini loh, Pah. Kok aneh, ya. Kita tadi sahur, kan, ga makan mie. Kok, muntah Papah ada mie nya, sih?"

Seketika itu juga Mukidi merasakan bumi bergetar, langit runtuh. Pandangannya jadi serba gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun