"Kamu pun, Nak. Harus semangat kalau puasa. Harus berusaha puasa sampai Maghrib, walaupun badan kita terasa lemes." Mukidi terus bicara, seolah merasa menjadi Pak Ustad yang suka ngisi majelis ta'lim tiap rabu sore.
"Sebagai orang yang beriman, godaan apa pun jangan sampai membuat kita batal puasa. Kita harus ... hek ... hek ...." Mukidi memegang lehernya dengan mata melotot.
"Pah ... Pah, kenapa, Pah?" Istri Mukidi kaget melihat kondisi suaminya.
Entah karena tangan kanannya menepuk dada terlalu keras, atau bicaranya terlalu cepat, leher Mukidi tercekat. Mukidi pun batuk-batuk jadinya, kedua tangannya terus memegang leher.
"Makanya kalau ngomong pelan-pelan," lanjut istrinya.
Merasa ingin muntah dan tidak tahan, Mukidi segera bangkit dan berlari ke kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara muntah-muntahnya. Sampai tiga kali terdengar oleh istri dan anaknya.
"Papah kenama, Mah?" kata anak Mukidi merasa khawatir.
Istri Mukidi tidak menjawab tetapi segera beranjak dari duduknya dan menyusul ke kamar mandi. Di kamar mandi terlihat Mukidi membungkuk-bungkukkan lehernya ke lantai kamar mandi. Istri Mukidi segera mengurut-urut bagian belakang leher Mukidi.
"Kamu itu, pah. Terlalu semangat kalau ceramah, Pake tepuk-tepuk dada segala." kata istrinya seraya memberinya handuk setelah Mukidi tidak muntah lagi dan membersihkan muka.
Keduanya lalu kembali ke ruang tamu. Mukidi berjalan pelan, istrinya sampai merasa perlu memapahnya.
"Sudah buka saja, Pah. Minum, ya?" ujar istri Mukidi.