Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Takwa Itu tentang Kepantasan

6 Maret 2023   10:02 Diperbarui: 6 Maret 2023   10:05 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pakaian tidak pantas/sumber: gurusiana

Kurang dari sebulan lagi kaum Muslimin seluruh dunia akan melaksanakan ibadah puasa selama sebulan. Semua Muslim sudah memahami, selain akan mendapatkan pahala karena melaksanakan perintah Allah Swt itu, Allah Swt pun akan menjandikannya orang yang bertakwa.

Apa itu takwa?

Salah satu pengibaratan takwa di dalam al-Qur'an adalah pakaian. Ini ada di surat Al-A'raaf ayat 26.

"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat."

Menurut Wikipedia, pertamakali pakaian yang digunakan terbuat dari kulit binatang dan kulit pepohonan, dengan tujuan sebagai perlindungan dari cuaca dingin, suhu panas dan hujan terutama saat manusia berimigrasi atau berpindah ke iklim yang baru.

Perkembangan teknologi telah menjadikan pakaian dikenakan manusia bukan hanya untuk melindungi tubuh, tetapi juga sebagai hiasan, untuk memperindah diri. Hal ini pun disebutkan di ayat di atas. Bahkan dunia mode menjadikan faktor estetika mengalahkan fungsi utama pakaian sebagai pelindung tubuh.

Dan khusus untuk kaum Muslimin, pakaiannya juga bertujuan untuk menutup aurat.

Jadi ada tiga fungsi pakaian; yaitu untuk perlindungan, untuk perhiasan dan untuk menutup aurat. Tentu bagi seorang Muslim prioritas utama adalah menutup aurat.

Namun, ada satu hal lagi yang harus diperhatikan saat kita berpakaian, selain ketiga fungsi di atas. Dan ini sangat penting, yaitu kepantasan.

Baca juga: Cermin Kebaikan

Maksudnya?

Selain untuk perlindungan, untuk perhiasan dan untuk menutup aurat, saat kita menggunakan pakaian, harus dilihat juga kepantasannya. Pantas tidak pakaian itu dikenakan?

Misalnya, pantaskah kalau kita menghadiri pemakaman dengan mengenakan pakaian warna cerah?

Pantaskah ke pesta pernikahan hanya memakai T-shirt dan celana jeans belel?

Dan sebagainya.

Begitupun takwa, yang diibaratkan pakaian. Takwa akan melindungi pemakainya dari bahaya sengatan api neraka. Takwa akan memperindah hidupnya dengan akhlak mulia. Dan, takwa akan menutupi segala aibnya. Namun, kepantasan tetap harus diperhatikan.

Apa maksud kepantasan dalam takwa?

Orang yang bertakwa tidak akan melakukan sesuatu hanya dari sisi syariat saja. Maksudnya tidak asal syah secara syariat atau fikih, tetapi tetap memperhatikan kepantasan.

Misalnya saat kita melakukan salat. Betul, secara syariat (fikih) kalau salat menggunakan sarung kumal dan kaos oblong tetap sah, karena aurat tertutup. Tetapi, apakah itu pantas? Tentu saja tidak!

Betul berzikir itu hal mulia, tapi saat Anda misalkan menjadi relawan dan berkunjung ke lokasi bencana, terus tidak melakukan apa-apa, yang Anda lakukan hanya berzikir, mengucapkan hamdalah; alhamdulillah ..., alhamdulillah ..., alhamdulillah ... seribu kali. Apa itu pantas? Tentu saja tidak!

Atau setiap hari Jum'at Anda selalu berinfak sepuluh ribu ke kotak amal di masjid, padahal pendapatan Anda lima puluh juta sebulan. Apa itu pantas? Tentu saja tidak!

 

Atau Anda dikenal sebagai ustad di lingkungan Anda, tetapi Anda masih suka nongkrong di caf sampai larut malam. Apakah itu pantas? Tentu saja tidak!

Dan sebagainya.

Jadi. Sebagaimana pakaian, jangal asal pakai. Takwa pun akan mencegah kita dari melakukan sesuatu dengan asal berbuat (asal-asalan).

Takwa akan melahirkan sikap kehati-hatian. Sebagaimana jawaban Ubay bin Ka'ab saat ditanya Umar bin Khaththab.

Suatu hari Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay bin Ka'ab, "Wahai Ubay, apa makna takwa?"

Ubay bin Ka'ab yang ditanya justru balik bertanya, "Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri? Saat berjalan di situ, apa yang engkau lakukan? Apakah berbalik karena tidak berani berjalan di situ?"

Setelah berpikir sejenak, Umar bin Khaththab menjawab, "Tentu aku akan terus berjalan untuk mencapai tujuan, tetapi dengan berhati-hati supaya tidak terkena duri."

"Itulah hakikat takwa," kata Ubay bin Ka'ab.

Wallahu'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun