Siang sangat terik terasa oleh bu Menik. Kerongkongannya terasa kering, walau sudah dialiri setengah botol air dingin dari kulkas. Rupanya, bayangan segarnya buah semangka telah menutupi kesegaran air dingin yang telah diminumnya.
"Duh ..., lama banget Bang Jek, belinya di mana, sih?" Setengah menggerutu bu Menik berkata sendiri.
Bicara demikian, untuk kesekian kalinya, dia berjalan ke teras rumah, mengecek kalau-kalau suaminya, Bang Jek datang. Setengah jam yang lalu bu Menik memaksa suaminya itu untuk keluar membeli semangka. Padahal saat itu suaminya itu sedang berbaring di kursi Panjang yang ada di teras sedang melepas Lelah sepulang dari kebun.
Tak lama kemudian terdengar suara salam dari suaminya, yang pulang dengan membawa dua buah semangka.
"Alhamdulillah ... akhirnya dapat juga semangkanya, Bang." Sambut bu Menik dengan wajah ceria.
Tanpa menunggu jawaban suaminya, yang langsung masuk kamar. Bu Menik segera memotong buah semangka dan memakannya.
Begitu menggigit buah semangka, kulit kening bu Menik berkerut. 'Kok, ga manis, sih,' pikirnya.
"Bang ... Bang, ini semangka beli di mana?" setengah berteriak dia memanggil suaminya.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar.
"Bang ... sini, Bang. Ini semangkanya beli di mana?" tanyanya lagi, lebih kencang dari yang pertana tadi.
"Ada apa, sih. Teriak-teriak, orang mau istirahat." Suaminya keluar kamar sambil menggerutu kesal.
"Ini, ini semangkanya kok ga manis, sih. Ga milih apa?" Protes bu Menik.
Bang Jek hanya mengeleng-gelengkan kepala mendengar protes istrinya itu. "Ya ... beli di tukang buah, dong. Cuma tinggal dua-duanya itu," jawab Bang Jek.
"Pantesin hambar, ga manis." Bu Menik masih protes.
"Disyukuri saja yang ada, masih mending dapat, daripada tidak dapat sama sekali," sahut Bang Jek.
"Lagian, kalau kamu protes, ngomel-ngomel. Kamu ngomel kepada siapa?" lanjut Bang Jek dengan sebuah pertanyaan.
"Kamu ga ngomelin abang, kan? Kamu percaya, kan, pasti abang berusaha mencari semangka yang manis? Cuma karena tidak tahu, kebetulan yang abang beli ini ga manis."
"Bukan, Bang. Bukan ngomelin abang," jawab bu Menik.
"Berarti kamu ngomelin yang jual, dong! Padahal kita yakin, dia tidak akan menjual semangka yang tidak manis. Karena tidak tahu saja, dia menjual semangka ini."
"Tidak, Bang. Menik juga bukan ngomelin yang jual."
"Lalu, kalau tidak ngomelin yang dagang, berarti ngomel kamu ditujukan ke petani, yang nanam semangka ini? Padahal, ga mungkin, kan, dia sengaja menanam semangka yang ga manis."
"Bukan, Bang. Menik juga bukan ngomel ke yang nanam semangka ini."
"Kalau begitu berarti kamu ngomel kepada Allah yang menciptakan semangka yang tidak manis ini. Karena setelah si petani, siapa lagi yang bertanggungjawab pada kualitas semangka selain Allah?"
"Astaghfirullah ... tidak, Bang. Masa Menik mengomeli Allah." Menik kaget mendengar penjelasan suaminya.
"Kamu tadi, kan, protes bahwa semangka ini ga manis. Nah, protes kamu itu sebenarnya kepada siapa? Ke Abang, yang beli, bukan. Ke penjualnya, bukan. Ke petani yang nanam, bukan. Terus kepada siapa lagi, kalau bukan kepada Allah?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H