Cahyadi Takariawan, ternyata kami mendapatkan pengalaman yang menyenangkan selama hari Sabtu, 4 Februari, kemarin.
Berawal dari keinginan kami, saya dan beberapa kawan satu komunitas, ingin bersilaturrahim dengan PakWalaupun janji pertemuan kami dengan Pak Cah -- demikian beliau sering dipanggil, khususnya oleh murid-murid kelas menulis beliau -- pukul satu siang hari Sabtu, tetapi kami berangkat dari Tasikmalaya Jumat pukul sepuluh malam. Memang karena ada beberapa destinasi yang ingin kami datangi sebelum ke rumah Pak Cah.
Perjalanan cukup lancar, kami tidak terburu-buru, dengan kecepatan normal, pukul 4 pagi kami tiba di rest area Ambar Ketawang, Jogjakarta, dan berniat salat subuh di sana. Namun, ternyata banyak pelancong yang berhenti di sana, dan sama berniat salat subuh, sehingga musola yang ada di sana tidak mampu menampung yang mau sala subuh.
Kami bersepakat untuk salat subuh di Masjid Jogokaryan. Dilihat di G-maps, jarak ke Masjid Jogokaryan hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, waktu yang cukup untuk mengejar adzan Subuh.
Alhamdulillah, pas adzan kami tiba di Masjid Jogokaryan. Segera kami bersuci dan memasuki masjid.
Subhanallah, untuk pertamakalinya saya salat Subuh berjamaah dengan jumlah jamaah yang membludak sampai ke luar masjid. Tentu saja saya takjub, seumur-umur, di mana pun sepengalaman saya, kalau salat Subuh paling banter jamaahnya itu tiga shaf (baris). Jarang sekalipun hanya setengah kapasitas masjid. Namun ini, bukan hanya memenuhi masjid, tapi membludak sampai ke teras (luar) masjid.
Merinding rasanya melihat yang berjamaah salat Subuh seperti jamaah pada saat salat Jumat.
Saya jadi mengkhayal (setengah berdoa) kalau saja semua masjid, jamaah salat Subuhnya seperti jamaah salat Subuh masid Jogokaryan. Satu lagi yang menarik, bada (setelah) salat Subuh, setelah berdzikir, jamaah tidak segera keluat melainkan mendengarkan nasihat yang disampaikan sesepuh Masjid Jogokaryan.
Dari masjid Jogokaryan kami meluncur ke Hutan Pinus Mangunan. Tiba Pukul 7 pagi dan disambut rimbunan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, tentu saja membuat udara yang dihirup terasa segar dan nyaman. Kami pun segera menggerakkan kaki, yang selama 6 jam perjalanan tertekuk di dalam mobil, menelusuri track dari papan kayu yang dibuat berputar-putar.
Cukup salut saya pada pemerintah setempat yang membuat hutan pinus ini bukan sekadar rimbunan pohon pinus melainkan juga menjadi obkel wisata. Terbukti, menjelang siang semakin banyak pengunjung yang berdatangan.
Perut yang keroncongan karena belum diisi membuat kami segera mengakhiri 'berpetualang' di hutan pinus Mangunan. Kami segera meluncur menuju rumah makan Bu Sum, yang tidak jauh dari hutan pinus Mangunan, untuk menikmati sarapan nasi tiwul dengan lauk ayam kampung goreng. Hmmmm ... rasa dan lapar membuat porsi sarapan seperti porsi untuk makan siang.