Malam mendekati puncaknya, begitupun obrolan Andi dengan Tomi. Semakin lama perbedaan pendapat mereka semakin melebar, dan malam itu seperti mencapai puncaknya.
"Begini saja, Ndi. Kalau kamu terus berpegang pada prinsipmu itu, sementara aku tidak setuju, kita sudahi saja bisnis kita ini. Kita hitung bersama, berapa asset yang ada kita bagi dua." Tomi menyatakan keputusan terakhirnya.
Beberapa jenak Andi diam sebelum menjawab, "Sebenarnya sayang juga kalau bisnis ini kita hentikan. Menurutku, sebenarnya tidak sampai harus dihentikan. Aku, kan, hanya mengusulkan untuk mulai meninggalkan bagian-bagian dari bisnis kita ini yang menyalahi syariah. Terus kita juga harus sudah menyisihkan keuntungan bisnis kita untuk zakat dan sedekah."
Tomi menyempatkan membetulkan kacamatanya sebelum berkata, "Justru itu. bisnis kita ini sedang menuju booming. Dari bulan ke bulan omset kita naik terus. Bisnis kita ini belum mencapai puncaknya, masih memerlukan banyak modal. Apa yang kamu usulkan itu, nanti saja kalau bisnis kita sudah di puncak."
Andi menghela nafas panjang mendengar penjelasan Tomi. Sudah lama dia mengajak teman bisnisnya itu untuk mulai lebih memperhatikan urusan transendental. Bisnis yang dijalani mereka berdua sudah memasuki tahun ketujuh. Mereka merintis bersama dengan berbagi modal, berbagi tugas, dan hasilnya sangat memuaskan mereka berdua.
Perkenalan Andi dengan Ustad Sofyan, dan terus mengikuti kajian rutinnya, menyadarkan Andi bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting diperhatikan daripada sekadar urusan dunia. Andi mengajak Tomi untuk ikut menghadiri kajian Ustad Sofyan, tapi Tomi menolak.
"Nanti, lah, Ndi. Bisnis kita ini belum apa-apa, lho! Urusan itu nanti kalau bisnis kita sudah sukses." Begitu jawaban Tomi saat itu.
Dan Andi tidak habis kesabaran. Setiap ada kesempatan, terutama setelah meeting urusan bisnis mereka, Andi selalu mengingatkan Tomi. Namun, berkali-kali pula Tomi menolak. Bahkan sempat Andi bertanya, "Tom, kamu percaya, kan, bahwa ada kehidupan lagi setelah kehidupan di dunia ini?"
"Sudah, lah, Ndi. Jangan bawa-bawa akhirat. Saya belum puas menikmati hidup di dunia ini. Nanti, kalau semua keinginanku sudah tercapai, aku akan menuruti nasihatmu." Begitu jawaban Tomi saat itu. Jawaban yang hampir membuat Andi putus asa untuk mengajak temannya itu.
"Bagaimana, Ndi?" Lamunan Andi buyar oleh pertanyaan Tomi. "Kamu setuju keputusanku?"