Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Tanpa Seragam

25 November 2022   14:18 Diperbarui: 25 November 2022   14:24 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak mengaji/sumber: rumahpedulicom

Di antara puluhan guru yang telah mendidik dan mengajari saya, sejak SD sampai lulus SMA, ada beberapa orang 'guru' yang tidak atau kurang terperhatikan oleh orang tua saya, juga oleh orang tua teman-teman saya.

Guru ngaji.

Ya. Guru yang telah mengenalkan huruf-huruf hijaiyah hingga saya bisa membaca al-Quran. Bukan ustaz. Bukan, karena mereka hanya anak-anak STM (sekarang SMK), yang lebih sering kami panggil Aa (kakak).

Saya tinggal di sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Barat. Sampai tahun 1980an hanya ada satu sekolah kejuruan dengan jurusan khusus, pertanian. Kami sering menyebutnya STM Pertanian. Jarak dari rumah saya ke sekolah ini hanya 1 kilometer.

Karena sekolah satu-satunya, siswanya banyak dari luar kecamatan dimana saya tinggal, bahkan banyak juga dari luar kabupaten. Sehingga mereka harus kost. Supaya cukup berjalan kaki, mereka memilih kost di rumah-rumah yang dekat sekolah, termasuk di dekat rumah saya.

Di antara mereka, maksudnya anak-anak STM yang nge-kost itu, ada beberapa yang dengan sukarela mau mengajari anak-anak kampung membaca al-Quran. Inisiatif mereka, tanpa meminta bayaran.

Setiap sore, menjelang Magrib sampai Isya, anak-anak kampung akan berangkat ke mushola, atau 'tajug' istilah di kampung saya. Belajar huruf hijaiyah, berkelompok sesuai jumlah guru ngaji yang datang.

Mereka, guru-guru ngaji itu, tinggal hanya 3 tahun saja. Setelah lulus sekolah mereka pulang ke daerah masing-masing, dan kemudian mereka akan digantikan oleh adik kelasnya (siswa baru), yang sama juga harus nge-kost.

Demikian terus setiap tahun. Sehingga kami memiliki banyak guru ngaji, dengan berbagai karakter, dengan berbagai ciri khasnya masing-masing.

Di antara guru-guru ngaji yang bergantian itu, ada satu yang masih berkesan bagi saya. Namun, sayang saya sudah tidak ingat namanya. Terkesan, karena dia pandai mendongeng. Setelah selesai mengajar, menunggu waktu Isya, dia sering mendongeng dengan berbagai cerita, baik cerita binatang seperti Si Kancil, maupun cerita tentang kerajaan.

Entah di mana mereka sekarang berada. Kalau mengingat usiaku sekarang, mungkin beberapa di antara mereka ada yang sudah meninggal dunia. Semoga apa yang mereka lakukan dulu, mengajari kami mengenal huruf-huruf hijaiyah, mengajari kami cara berwudu, cara salat, mengajari beberapa bacaan salawat, dibalas Allah SWT dengan pahala yang terus mengalir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun