Ibu tidak menjawab, tetapi berdiri dan berjalan memasuki kamar. Beberapa saat kemudian Kembali dan meletakkan orang-orangan dari tanah liat di atas meja.
"Apa ini?" tanya ayah.
"Buka saja bungkusnya, itu bungkusnya pasti kain kapan."
"Kain kapan? Ah, ada-ada saja kamu, Bu." Ayah mengambil dan membuka kain yang membungkusnya. Ayah tertegun setelah melihat isinya.
"Itu yang nemu Andri, di bawah tiang warung kita, tadi siang. Ibu yakin, itu disimpan di situ dengan maksud tertentu."
"Maksud ibu, gara-gara benda ini warung ibu sepi dan panen cabe kita gagal, begitu?"
Ibu hanya menjawab dengan anggukan.
"Astaghfirullah .... Istighfar, Bu! Jangan sampai berpikiran begitu, itu syirik namanya. Dosa besar itu. Lagian siapa yang ibu maksud?"
"Entahlah, siapa. Tapi jelas, kan, Pak. Kalau tidak, lalu apa maksudnya nyimpan orang-orangan dibungkus kain kapan ini di warung kita?"
"Bagaimanapun, Bu. Kita tidak boleh percaya bahwa benda seperti ini bisa membuat warung kita sepi, atau hidup kita susah. Semua yang terjadi kepada kita itu semua kehendak Allah Swt. Terus, itu belum tentu juga kain kapan." Ayah meraih gelas dan meminum teh manisnya. "Warung kita sepi karena memang sekarang ini ekonomi sedang sulit, pandemi baru beres. Kehidupan usaha belum normal. Orang-orang sekarang sedang menghemat pengeluaran. Dan ... kebun cabe kita, panennya ga maksimal, karena musim hujan kali ini lebih lama dari tahun kemarin, akibatnya bunga-bunga cabe banyak yang berjatuhan sebelum jadi cabe."
"Lalu kita harus bagaimana, Pak?" Andri yang sedari tadi menyimak obrolan ayah dan ibunya, bertanya.