Mungkin karena efek Sambo.
Peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan mengingatkan saya pada tragedi yang terjadi di Stadion Heysel. Padahal Tragedi Heysel yang memakan korban nyawa 30 orang lebih itu terjadi 37 tahun silam. Terbayang, karena saya menyaksikan langsung (via TV) peristiwanya. Saat itu saya, masih sekolah di SMA, melihat suporter Liverpool mengamuk dan merusak, membakar stadion. Mereka marah dan kecewa karena timnya kalah 0-1 oleh Juventus di partai Final Liga Champion.
Saya, yang tidak menyaksikan langsung peristiwa di Stadion Kanjuruhan, tentu dapat membayangkan kengeriannya setelah mengetahui jumlah korban yang jatuh sampai lebih dari 150 orang. Lima kali lebih banyak dari korban Tragedi Heysel.
Jumlah korban yang melebihi angka 150 ini langsung menempatkan Tragedi Kanjuruhan ini di posisi kedua sebagai tragedi sepakbola terbanyak memakan korban. Tragedi terbesar adalah Estadio Nacional Disaster di Peru, saat tim Peru melawan Argentina yang memakan korban meninggal 328 orang, itu pun terjadi tahun 1964, setengah abad yang lalu.
Menyedihkan dan memalukan, begitu saya menanggapi Tragedi Kanjuruhan ini. Bagaimana tidak sedih, kalau tragedi itu telah membuat puluhan orangtua kehilangan anak, puluhan istri kehilangan suami, puluhan anak kehilangan ayah. Dan, bagaimana tidak memalukan, kalau sebenarnya tragedi ini bisa dicegah kalau saja aparat keamanan (polisi) bisa menahan diri, tidak emosional, saat menenangkan suporter yang turun ke lapangan.
Kenapa saya langsung 'menembak' polisi?
Saya memang tidak menyaksikan kejadiannya langsung, tapi sekarang era informasi, informasi tersebar luas dan mudah diakses. Ada dua referensi kenapa saya-seolah-mengkambinghitamkan polisi. Pertama kesaksian Dahlan Iskan yang menyaksikan secara live di TV, dan kedua, kesaksian seorang Aremania (fans Arema) yang juga Ketua Pemuda Muhammadiyah Malang, yang saat kejadian berada di tribun penonton dan melihat langsung kerusuhan yang terjadi di lapangan.
Kesaksian Aremania tersebut dituliskannya di web sangpencerah.id. Aremania yang juga Ketua Pemuda Muhammadiyah itu menulis, 'saat suporter Arema masuk lapangan aparat berusaha melakukan upaya untuk memukul mundur para supporter'. Namun, sayang, tulisnya lagi, 'aparat berlaku sangat kejam dan sadis, dipentung tongkat panjang'. Bahkan dia melihat ada 'satu orang suporter dikeroyok aparat lalu dihantam tameng'. Bahkah di web-nya itu dilengkapi juga dengan beberapa video kejadian di stadion hasil rekaman dia.
Sementara kesaksian Bapak Dahlan Iskan dituliskannya di web disway.id. Beliau pun di beberapa paragraf tulisannya tersebut menyebutkan aksi apparat yang terlalu berlebihan. Beliau menulis, 'saat para suporter memasuki lapangan aparat menghardik mereka dengan kasar, juga menendang, memukul, dan mementung'.
Nah, dari dua kesaksian di atas, saya bisa membayangkan para suporter Arema yang masuk lapangan, untuk melampiaskan kekecewaannya dihalau oleh aparat dengan perlakuan kasar, bahkan 'sangat kejam dan sadis' kalau menurut istilah Ketua Pemuda Muhammadiyah Malang di atas. 'Menendang, mementung, memukul' menurut Dahlan Iskan.
Perlakuan kasar aparat ini disaksikan oleh suporter yang masih di tribun. Terpancing emosi mereka melihat rekan-rekannya diperlakukan kasar oleh aparat, mereka pun turun. Menambah jumlah suporter yang masuk lapangan.
Kejadian berikutnya Anda sudah membaca di beberapa media. Polisi yang terdesak menembakkan gas air mata, ke arah penonton yang memasuki lapangan, juga ke tribun. Dan, menurut saya, inilah penyebab banyaknya jatuh korban.
Seharusnya aparat tidak perlu bertindak over begitu. Toh sudah tahu mereka adalah Aremania, fans Arema Malang, yang kecewa. Yang namanya fans tidak mungkin berbuat anarkis terhadap tim atau pemain kesayangannya, kekecewaan mereka paling ditumpahkan dengan cacian, makian, paling parah meludahi.
Sama sekali tidak ada faktor yang menakutkan malam itu, yang mengharuskan aparat berbuat 'kejam'. Karena saat itu tidak mungkin terjadi perang suporter, karena sejak awal (polisi pasti tahu) suporter Persebaya tidak dibolehkan masuk stadion. Pemain Persebaya pun sudah diamankan.
Adakah efek Sambo dalam kerusuhan di Kanjuruhan itu?
Di era serba mungkin saat ini, semuanya bisa saja. Pertama, masyarakat (dalam hal ini suporter) sudah lama kesal, tidak suka, pada polisi dan puncaknya di kasus Sambo yang fenomenal itu. Sedikit banyak borok polisi terlihat dari info-info yang berseliweran terkait kasus Sambo tersebut. Ditambah kejijikan melihat perilaku hedon pejabat polisi dan istri. Bagaimana tidak disebut hedon, kalau beli kemeja saja sampai jutaan. Sementara segitu bagi Sebagian besar rakyat bisa untuk makan sebulan. Kekesalan suporter pun dibuktikan dengan dirusaknya sejumlah mobil polisi di dalam maupun di luar stadion.
Kedua, dari sisi polisi, mungkin saja mereka ingin memendam kasus Sambo dengan membuat pengalihan isu. Salah satu indikasinya, menurut saya, penembakan gas air mata. Sudah diketahui FIFA sangat melarang keras gas air mata masuk stadion, tetapi kenapa polisi masih membawa juga, bahkan menembakkannya?
Semoga dugaan saya itu salah. Makusdnya dugaan adanya efek Sambo dalam kerusuhan di Kanjuruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H