Judul: Putri Sio
Penulis: M. Hilmi As'ad
Tahun Terbit: 2009
Penerbit: KataKita                                                 Â
Tebal: 460
ISBN: 978-979-3778-57-0
Membaca novel sejarah selalu menarik. Selain memperjelas pelajaran sejarah yang pernah didapat waktu sekolah, juga selalu penuh kemelut yang berasal dari intrik-intrik para tokoh sejarah yang dikisahkan. Sehingga, bagi saya pribadi yang suka cerita silat, seolah mendapatkan dua kepuasan dengan membacanya.
Apalagi kalau novel sejarah itu mengisahkan sebuah pergantian kekuasaan, atau akhir dari sebuah kekuasaan. Seperti novel Putri Sio yang baru selesai saya baca ini.
Sebenarnya Novel ini sudah terbit 13 tahun silam, namun saya baru 'menemukannya' di sebuah grup pecinta buku di FB. Karena ada yang menjual murah, mungkin karena stok lama, maka saya pun membelinya.
Latar belakang kisah di novel ini adalah masa-masa akhir kekuasaan Majapahit, dan awal berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Kisah dibuka dengan kegelisahan Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Sang Raja galau karena Sang Permaisuri, Putri Champa, memberinya pilihan yang sulit. Karena kecemburuannya pada selir Raja yang berasal dari Cina, Putri Sio, Sang Permaisuri memberi dua pilihan; mengusir (membuang) Putri Sio dari keraton atau mengembalikan dirinya ke Campa.
Tentu saja itu pilihan bak makan buah simalakama. Apalagi Putri Sio saat itu sedang hamil enam bulan. Dan, sang Permaisuri keukeuh dengan tuntutannya itu walau sudah dibujuk dengan berbagai cara oleh Sang Raja.
Setelah berunding dengan pembesar kerajaan akhirnya diputuskan untuk 'menyerahkan' Putri Sio kepada Arya Damar, Bupati Palembang, yang masih terhitung adik Brawijaya V. Sang Raja meminta Arya Damar menikahi Putri Sio setelah melahirkan anak yang sedang dikandungnya, dan kelak kepada si Anak, Arya Damar harus memberitahukan siapa ayah kandungnya.
Singkat cerita, Putri Sio pun diboyong Arya Damar ke Palembang. Dan kemudian setelah melahirkan putra dari Brawijaya V yang diberi nama Raden Fatah alias Tan Jim Bun, Putri Sio pun resmi dinikahi Arya Damar, dan dari pernikahan tersebut lahir Kembali seorang putra yang diberi nama Husein alias Kin San.
Sebenarnya Arya Damar, yang kemudian juga memeluk Islam, tidak pernah membedakan dalam memperlakukan Tan Jim Bun, yang anak tiri, dan Kin San. Namun, perasaan yang dirasakan Tan Jim Bun berbeda. Sehingga, mau tidak mau, Putri Sio pun memberitahukan siapa sebenarnya ayah kandung Tan Jim Bun, karena juga memang itu amanatnya suaminya dulu, Raja Brawijaya V.
Mengetahui hal tersebut, telah memicu semangat di dalam hati Tan Jim Bun untuk pergi ke tanah Jawa. Walaupun memendam kesedihan yang sangat, Putri Sio dan Arya Damar terpaksa mengizinkan Tan Jim Bun pergi. Tak dinyana, Kin San pun berkeinginan turut pergi ke tanah Jawa dengan maksud ingin memperdalam ajaran Islam kepada Sunan Ampel.
Setelah di tanah Jawa dan berguru kepada Sunan Ampel, Tan Jim Bun semakin bersemangat untuk mendakwahkan Islam bahkan menghilangkan tujuan awalnya ke tanah Jawa, yaitu menemui ayah kandungnya yang menjadi raja Majapahit.
Justru Kin San, adik tirinya, yang pergi menemui Raja Brawijaya V dan memintan izin untuk menyebarkan Islam. Raja Brawijaya pun memberi izin, bahkan mengangkat Kin San atau Husein menjadi adipati di Terung (Mojokerto).
Sementara itu, Raden Fatah atau Tan Jim Bun setelah diberi petunjuk oleh Sunan Ampel yang kemudian juga menjadi mertuanya, berdakwah dan membuka lahan di wilayah Glagahwangi (Demak). Seiring berjalannya waktu, wilayah ini menjadi cikal bakal kerajaan Islam pertama. Dan ironisnya, juga menjadi tempat pelarian Raja Brawijaya V saat kerajaannya, Majapahit, di serang oleh pemberontak dari Daha.
Fakta sejarah yang dikisahkan dalam novel ini cukup banyak, jadi akan memperkaya pengetahuan kita. Penulis, Hilmi As'ad, yang jebolan pesantren, sangat baik dalam menggambarkan Islam dan pemeluknya yang sangat toleran terhadap pemeluk kepercayaan yang lain. Islam yang tidak memaksa semua orang untuk pindah agama menjadi Muslim. Hal ini digambarkan dalam hubungan yang harmonis antara Putri Sio yang Muslim dengan Galutri, emban setianya, yang beragama Hindu.
Begitupun kesetiaan Husein, yang diangkat Adipati, kepada Raja Brawijaya yang beragama Hindu, menggambarkan kesetiaan kepada pimpinan tidak mesti harus melihat agamanya.
Walaupun diterbitkan tahun 2009, novel ini sangat relevan dengan kondisi sekarang, saat Islam seolah dibenturkan dengan nasionalisme. Islam yang dicitrakan intoleran dan radikal. Sudah selayaknya novel ini dibaca oleh kaum Muslimin dan juga non-Muslim. Supaya masing-masing mengetahui bagaimana dulu Islam dan agama yang lain pernah hidup berdampingan dengan damai.
Sebagaimana saya tuliskan di paragraf awal, setiap membaca novel sejarah saya selalu mendapatkan dua kepuasan, karena juga akan selalu dipenuhi adegan perkelahian atau peperangan yang menegangkan. Dan, di novel ini saya tidak mendapatkannya. Itulah kekurangan novel ini.
Penulis kurang berani memanfaatkan konflik-konflik yang ada di kisah ini menjadi jalinan cerita yang akan menegangkan. Adegan perkelahian yang ada hanya saat Tan Jim Bun dan Kin San dicegat dua begal bersaudara saat melakukan perjalanan ke tanah Jawa.
Begitupun adegan perang yang terjadi antara pasukan pemberontak dari Daha dengan prajurit Majapahit tidak digambarkan sebagai sebuah peperangan yang dahsyat dan menegangkan. Bagi pecinta novel sejarah, khususnya karya-karya Langit Kresna Hariadi, atau Kho Ping Ho, atau SH. Mintarja, novel ini sangat ringan, bahkan mungkin bisa disebut kering.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H