kekayaan, yang dianggap modal untuk bersikap hedon, seolah menjadi muara dari semua aktivitas manusia. Sikap hedon, dan mencirikan diri dengan memiliki harta banyak, menjadi acuan untuk menggapai kemuliaan, kehormatan, dan kewibawaan.
Hedonisme sepertinya sudah melanda semua orang di zaman yang mengagungkan kemewahan seperti sekarang ini. SehinggaTayangan sinetron yang banyak menunjukkan gaya hidup mewah menambah kuat anggapan masyarakat, bahwa tanda kesuksesan seseorang itu manakala memiliki rumah mewah dua lantai, ada kolam renangnya, di garasinya ada lebih dari satu mobil mewah, kerja kantoran, berjas setiap hari, makan di restoran bonafid.
Virus kaya tersebut ternyata tidak hanya melanda masyarakat bawah, yang hanya bisa berangan-angan dengan menyaksikan sinetron. Tetapi juga melanda orang-orang atau golongan yang notabene sudah ada di garis kemewahan. Buktinya, banyak kasus korupsi yang dilakukan para pejabat.Â
Baik pejabat eksekutif; Menteri dan kepala daerah, maupun pejabat legislatif; para anggota dewan. Pusat maupun daerah. Padahal, dari penghasilan mereka dari jabatan dan bisnisnya, mereka seharusnya sudah tidak merasa kekurangan. Â
Apakah kita tidak boleh kaya?
Islam tidak melarang hidup kaya, karena kekayaan adalah salah satu nikmat dari Allah Swt. Lalu, bagaimana Al-Quran dan Hadis, sebagai dua dasar hukum Islam, memandang kekayaan?
#1
Kekayaan (dan kemiskinan) adalah bentuk ujian dari Allah Swt. Seseorang diberi kekayaan (atau kemiskinan), hakikatnya adalah ketetapan Allah Swt. Allah Swt hendak menguji keimanan seorang manusia dengan kekayaan (dan kemiskinan).
Pernyataan di atas dijelaskan di beberapa ayat Al-Quran berikut,
"... Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) diri sendirinya, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia." (QS. An-naml; 40)
"Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun." Â (QS. Al-Mulk: 2)
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami." (QS. Al-Anbiya: 35)
#2
Kekayaan (dan kemiskinan) tidak menjadikan seorang manusia mulia (atau hina). Beberapa ayat Al-Quran berikut menjelaskannya.
"Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaannya". (QS. Al-Isra': 21)
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan". (QS. Al-Kahfi; 46)
#3
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa Tuhan menciptakan kondisi kaya dan miskin?
Manusia diciptakan oleh Allah Swt hanya untuk beribadah kepada-Nya. Dan, status atau kondisi kaya dan miskin ini akan menjadi sarana atau jalan seorang manusia beribadah. Yaitu, bagi si kaya, kekayaannya akan membuat dia bersyukur. Sementara si miskin, kondisinya itu akan menimbulkan sikap sabar. Berikap syukur dan sabar akan mendapatkan pahala, sebagaimana ibadah ritual seperti salat, puasa, dan membayar zakat.
Selain itu, kondisi kaya dan miskin akan menciptakan hubungan sosial yang ideal di tengah masyarakat, yaitu terjadinya aksi tolong-menolong dari Si Kaya kepada Si Miskin.
#4
Kedua hadis di bawah menjelaskan arti sebenarnya dari istilah 'kaya'.
Dari Abi Hurairah dari Rasulullah Saw beliau bersabda, "Kaya bukanlah dengan banyak harta, tetapi kaya sebenarnya adalah kaya hati." (Mutafaq Alaih)
Abu Dzar berkata, Rasulullah saw bersabda, "Hai Abu Dzar apakah menurutmu banyak harta itu kaya? Aku Menjawab: betul ya Rasulullah. Rasulullah bertanya lagi: jadi menurutmu sedikit harta itu miskin? Aku menjawab: benar ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah menjelaskan: sesungguhnya kaya itu adalah kaya hati dan miskin itu miskin hati." (HR Nasai dan Ibnu Hibban)
#5
Kaya (dan miskin) merupakan kondisi dari hasil usaha manusia. Dan, saat memberi pahala, Allah Swt melihat proses dari usaha kita bukan dari hasil usaha kita. Apakah proses ikhtiarnya itu dilakukan dengan jalan sesuai syariat atau melanggar syariat.
Ayat Al-Quran dan hadis di bawah menjelaskannya.
"Dan Katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu 'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. at-Taubah: 105)
"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: 15)
"Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil usahanya sendiri." (HR. Bukhari)
"Barangsiapa di waktu sore merasa lelah lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah), maka di saat itu diampuni dosa baginya." (HR. Thabrani)
#6
Bagaimana kita harus bersikap saat kita diberi kelebihan harta (kaya) atau saat kita kekurangan (miskin)?
Islam telang memberi petunjuk untuk keduanya, sebagai berikut:
Saat kita diberi kelebihan (kaya)
- Mempergunakan kekayaan di jalan yang diridoi-Nya, sebagai bentuk syukur kita.
- Membayar zakat, berinfaq, mendukung program dakwah, membangun masjid, pesantren, atau rumah tahfidz.
- Mendistribusikan kekayaan melalui aksi-aksi social, seperti menolong teman dengan meminjamkan uang, membantu Pendidikan anak yatim melalui beasiswa, dll.
- Menjadikan kekayaan sebagai Mazro'atul akhiroh atau ladang akhirat, dengan menjadikannya sebagai sarana mendapatkan amal soleh sebanyak-banyaknya.
Saat kita dalam kekurangan (miskin)
- Bersikap ikhlas menerima keadaan lalu bersabar dan tawakal, serta meyakini bahwa hal itu yang terbaik yang Allah Swt berikan.
- Tetap menjaga harga diri (Iffah) dengan tidak memanfaatkan kondisi miskin untuk meminta-minta.
- Sebagaimana kekayaan, kemiskinan pun bisa menjadi Mazro'atul akhiroh (ladang akhirat).
Wallhu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H