Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Quo Vadis Supremasi Hukum

26 Juli 2022   11:19 Diperbarui: 26 Juli 2022   11:21 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI)/sumber: kitadata

Founding Fathers negara ini, sejak awal, sudah dengan sadar membentuk negara ini menjadi republik, bukan kerajaan, yang tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan, dan karena itu republik Indonesia ini disebut juga sebagai negara hukum (rechstaat).

Sebagai negara hukum sudah seharusnya hukum menjadi 'panglima' di negeri ini. Supremasi hukum sebagai upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi, harus menjadi prioritas. 

Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara.

Sudah dipahami, salah satu akar masalah semua persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang melanda negara kita adalah karena tidak berfungsinya negara hukum. 

Rule of Law yang selama lebih dan 30 tahun ditunggangi oleh kekuasaan otoriter temyata sekarang dibawah pemerintahan yang demokratis masih juga belum berfungsi. Polisi masih banyak menyalahgunakan kekuasaannya, banyak jaksa masih terus memeras pencari keadilan, dan banyak hakim yang menelikung keadilan.

Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) sedikit membuktikan pernyataan di atas. Hasil survei yang menilai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan, dan KPK), dapat dilihat di bawah ini.

Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI)/sumber: kitadata
Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI)/sumber: kitadata

Tidak terlalu salah untuk curiga dan cemas tentang nasib negara hukum. Kejadian-kejadian hukum yang hadir di depan mata kita bisa membuat kita pesimis. Yang terbaru, dan ramai di jagat maya, adalah bebasnya artis Nikita Mirzani dari jerat hukum dengan alasan punya anak yang harus didampingi.

Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Shinto Silitonga, Jumat (22/7/2022), menjelaskan, "Ada permohonan dari penasehat hukum saudari NM kepada Polresta Serang Kota agar saudari NM tidak ditahan. Hal ini mendapat respon penyidik hingga Kapolres Serang Kota. Dengan pertimbangan kemanusiaan, saudari NM harus mendampingi tiga anak. Maka penyidik mengakomodir permohonan saudari NM untuk tidak ditahan."

Netizen pun menanggapi berita bebasnya Nikita Mirzani itu dengan membandingkannya dengan apa yang dialami (mendiang) artis Vanessa Angel, 2 tahun silam, yang didakwa karena kasus narkoba. Vanessa Angel menjalani vonis tiga bulan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Pondok Bambu, Jakarta Timur. Saat itu Vanessa Angel memiliki bayi yang masih berumur 4 bulan.

Anda mungkin ada yang masih teringat peristiwa yang dialami seorang ibu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tahun 2016 lalu. Saat itu seorang ibu, Rismaya, terjerat kasus pencurian, terpaksa harus membawa bayinya yang berusia 10 bulan ke penjara untuk disusui. Beritanya dapat dibaca di sini.

Saya bukan orang hukum, jadi tidak tahu alasan perbedaan putusan hukum yang diberikan kepada Nikita Mirzani, Vanessa Angel, dan Rismaya. Atau mungkin ada pertimbangan tertentu yang dibolehkan sehingga perbedaan putusan itu dibolehkan secara hukum. Mungkin Anda yang berkecimpung di dunia hukum bisa memberi komentar untuk turut menjelaskan.

Saya jadi teringat sebuah peristiwa yang terjadi di Makkah 15 abad yang lalu. Suatu hari para pembesar Quraisy menggelar rapat khusus. Saat itu seorang wanita Quraisy dari Bani Makhzum tertangkap karena mencuri. Mereka heboh dan resah, takut kasus ini terekspos ke ranah publik.

Quraisy adalah suku yang terhormat di Makkah. Seorang Quraisy tertangkap mencuri adalah aib bagi mereka. Mereka pun berpikir keras, bagaimana melobi Rasulullah Saw supaya Wanita Quraisy tersebut tidak dihukum. Mereka pun memilih Usamah bin Zaid untuk menghadap dan membujuk Rasulullah.

Usamah bin Zaid bergegas menemui Rasulullah Saw dengan sangat hati-hati dan penuh harap, pemuda kesayangan Nabi itu mengungkapkan maksud kedatangannya. Paham akan maksud Usamah, beliau menjadi merah wajahnya. Beliau menahan marah luar biasa, lalu Rasulullah Saw berdiri seraya berkata,

"Sesungguhnya yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu adalah (sikap tercela mereka), apabila yang mencuri itu adalah orang terpandang di antara mereka, mereka membiarkannya. Namun apabila yang mencuri itu adalah orang yang lemah, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, andai Fatimah Putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." (HR Bukhari dan Muslim).

Walaupun judul artikel ini menunjukkan kesuraman jalannya penegakkan hukum. Namun, saya masih optimis Supremasi Hukum masih akan berjalan dengan tegak di negeri ini.

Semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun