Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bukan Keluar dari AFF atau Tidak, Rekrutmen Masalahnya

22 Juli 2022   10:47 Diperbarui: 22 Juli 2022   10:57 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo AFF dan Timnas/sumber: sportstarid

Konon, karena merasa dicurangi (dengan adanya dugaan kesepakatan pengaturan skor antara Vietnam dan Thailand) di babak grup Piala Asia kemarin Indonesia ingin hengkang dari Federasi sepakbola Asean, Asean Football Federation (AFF).

Walaupun belum ada pernyataan resmi dari PSSI terkait rencana keluar itu, tetapi beritanya cukup santer. Bahkan Kompasiana menjadikan isu ini menjadi Topik Pilihan untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat untuk isu ini.

Kalau saja keinginan keluar dari AFF itu disebabkan kekecewaan di Piala Asia kemarin, maka dipastikan ini adalah keinginan dari hawa nafsu semata (terutama nafsu netizen), bukan karena perhitungan baik-baik buruk tetap ada di AFF. Keputusan yang didasari nafsu biasaya justru akan menimbulkan masalah lain.

Kalau untuk memajukan Timnas, atau membentuk Timnas yang berkualitas, menurut saya, perlu dibenahi dulu pola rekrutmen pemainnya, karena itu dasar.

Sudah bukan rahasia lagi, kalau faktor non-teknis selalu ada, bahkan bisa, mengalahkan faktor teknis. Termasuk isu adanya beberapa pemain titipan di Timnas U-19 yang berlaga di Piala Asia kemarin. Kata titipan di sini, kan, mengisyaratkan faktor non-teknis mengalahkan faktor teknis.

Berbicara rekrutmen, harus berbicara sepakbola usia dini. Harus disyukuri, animo masyarakat Indonesia terhadap sepakbola masih sangat tinggi. Terbukti, hampir dipastikan di tiap kota, selalu ada lebih dari 5 SSB (Sekolah Sepakbola). Baik yang mandiri, maupun yang dibina oleh klub-klub yang sudah punya nama, seperti Akademi Persib milik klub Persib Bandung.

Saya menulis ini berdasarkan pengalaman 6 tahun lebih berkecimpung di SSB. Berawal hanya sebagai orangtua yang mengantarkan anak ke-3 berlatih di SSB Galuh Putra Kota Tasikmalaya, kemudian ditunjuk jadi koordinator orang tua, dan sekarang menjadi salah satu pengurus di manajemen SSB Parahyangan, yang bernaung di bawah Akademi Persib Galunggung.

Anak saya (kelahiran 2005) mulai berlatih di SSB Galuh Putra sejak kelas 4 SD. Untuk diketahui Dimas Juliono Pamungkas, salah satu pemain Timnas U-19 yang berlaga di Asia Afrika, saat itu pun berlatih di SSB Galuh Putra.

Dimas ada di kelas kelahiran 2004, tetapi karena kekurangan pemain, kalau ikut kompetisi anak saya yang kelahiran 2005 selalu diajak. Anak saya baru berpisah dengan Dimas, sejak Dimas masuk Akademi Persib dan kemudian direkrut jadi pemain Timnas.

Selama saya menyertai anak bermain dan berkompetisi antar SSB, saya melihat beberapa hal. Pertama, perhatian ASKOT PSSI Kota Tasikmalaya kurang sekali, bahkan pantas kalaupun disebut tidak ada, perhatian terhadap SSB ini. Entah di kota atau kabupaten lain.

Jangankan pembinaan, apalagi dalam bentuk pemberian fasilitas atau dana, memfasilitasi kompetisi antar SSB saja jarang. Selama ini kompetisi antar SSB, diselenggarakan oleh SSB sevara mandiri, biasanya dalam rangka ulang tahun SSB yang bersangkutan. Jadi seluruh biaya dikeluarkan oleh SSB yang menyelenggarakan, sebagiannya dari uang pendaftaran peserta kompetisi.

Adapun kompetisi yang dilaksanakan oleh Askot hanya 1, yaitu Liga Askot. Itu pun bentuknya bukan liga tetapi kompetisi yang dalam 2 hari selesai.

Yang saya bayangkan, Askot Tasikmalaya itu menggelar Liga SSB (pesertanya semua SSB yang ada), dengan sistem Home Away, sehingga dari hasil Liga itu akan terseleksi pemain-pemain untuk Persikotas (Persatuan Sepakbola Kota Tasikmalaya), yang nantinya bisa dibina khusus untuk di Porda atau level kompetisi lebih tinggi. Begitupun di kota atau kabupaten lainnya.

Kedua, Kompetisi sepakbola usia dini tidak berkelanjutan. Maksudnya, kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan SSB tadi hanya selesai sampai di situ. Idealnya ada kompetisi yang berjenjang sampai puncaknya di level nasional. Dulu ada Danone Cup, dimana tim yang juara di level kota atau kabupaten kemudian berkompetisi di level provinsi, dan kalau juara lagi bermain di tingkat nasional. Entah, sepertinya sekarang Danone Cup sudah tidak ada lagi.

Ketiga, tidak ada kejelasan kepada masyarakat dari PSSI, bagaimana sebenarnya rekrutmen yang dilakukan PSSI untuk seseorang menjadi pemain Timnas. Sehingga untuk orangtua-orangtua yang tidak punya jaringan atau kenalan dengan 'orang-orang bola' di level atas, tidak tahu harus kemana anaknya bermain setelah selesai di level SSB. Kalau dalam istilah perusahaan, mah, jenjang karir. Ini yang ga jelas. Bagaima alur jenjang karir seseorang yang berbakat, dari usia dini (SD) sampai menjadi pemain Timnas.

Banyak, saya lihat, anak-anak yang waktu di SSB terlihat punya skill yang bisa dioptimalkan, hilang begitu saja. maksudnya tidak Latihan bola lagi. Karena, sudah umum, berlatih di SSB hanya sampai SD kelas enam, jarang sekali setelah SMP yang masih berlatih. Juga karena hanya sedikit SSB yang punya kelas lanjutan, sering disebut kelas lapang besar.

Rasanya cukup 3 itu saja curhatan saya terkait pola rekrutmen-untuk menjadi-pemain Timnas. Jadi, poinnya bukan keluar atau tidak dari AFF.

Demikian saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun