Ini pengalaman ketiga menerbitkan buku dengan cara yang berbeda juga.
Memiliki buku dengan nama sendiri tertera di sampul buku, sebagai penulisnya, saya kira adalah impian para penulis pemula. Tetapi tentunya tidak mudah merealisasikan mimpi tersebut. Walaupun sekarang banyak penerbit menawarkan jasa penerbitan, atau mau menerbitkan sendiri pun sekarang mudah, tetap saja proses untuk menerbitkan sebuah buku tidak semudah membalikkan tangan.
Yang pertama dan yang utama untuk lahirnya sebuah buku adalah keberadaan naskah. Tanpa naskah tidak ada yang bisa dicetak dan diterbitkan. Dan, kesulitan menghasilkan naskah inilah yang menjadi kendala para penulis pemula.
Walaupun ukuran ketebalan sebuah buku tidak mutlak harus berpa halaman, tetapi untuk pantas disebut buku diperlukan naskah yang berisi ribuan kata, atau ratusan halaman. Apalagi untuk buku fiksi seperti novel, yang umumnya di kisaran 300 -- 500 halaman. Penulis sendiri punya buku karya Langit Kresna Hariadi yang berjudul Amurwa Bhumi, 2 jilid masing-masing tebalnya 2.000 halaman, jadi totalnya 4.000 halaman.
Kalau saja 1 halaman itu ada 400 kata, maka total untuk novel ini Mas Langit Kresna Hariadi telah menulis 1.600.000 kata, satu juta enam ratus ribu kata, wow. Untuk beliau yang berpengalaman mungkin menulis sebanyak itu biasa saja. Namun bagi penulis pemual, termasuk saya, itu sesuatu yang sangat luar biasa.
Biasanya, dan ini saya alami sendiri, untuk permulaan para penulis pemula itu menulis artikel-artikel pendek dengan tema-tema ringan, atau menulis cerita pendek (cerpen), yang jumlah katanya kisaran 500 -- 1000 kata, atau sekitar 3 -- 5 halaman ukuran kertas A4.
Tetapi kita mengenal peribahasa, 'Takada rotan, akar pun jadi'. Tidak bisa menggapai sesuatu yang sempurna, yang ideal, yang biasa-biasa pun boleh, lah. Belum bisa menulis naskah dengan tebal yang disyaratkan untuk menjadi sebuah buku, solusinya adalah nulis bareng dengan beberapa penulis lain kemudian diterbitkan. Buku yang berisi tulisan karya lebih dari seorang penulis disebut antologi. Sebagaimana arti Antologi menurut KBBI, yaitu 'kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang'.
Saya pun melakukan hal tersebut-menerbitkan buku antologi-bersama teman-teman sesama penulis pemula. Berawal dari tugas menulis artikel di kelas menulis yang saya ikuti, lalu salah seorang teman mencetuskan ide untuk mengumpulkan artikel-artikel tersebut dan menerbitkannya. Tentu saja ide tersebut disambut antusias teman-teman yang lain.
Karena saat memberikan tugas menulis artikel itu, mentor menulis, Pak Cahyadi Takariawan, tidak menetapkan satu tema/topic, maka artikel-artikel yang kamu tulis pun jadi beragam temanya. Dan tentunya sulit menentukan judul yang akan digunakan nanti dalam buku antologi kami.
Kebetulan saat itu sedang hangat-hangatnya, bahkan cukup memanas, pembicaraan tentang rencana ditetapkan Undang-Undang Ombibus Law, maka kami sepakat mengambil istilah Omnibus ini untuk judul buku Antologi.
Diperlukan diskusi yang panjang untuk menentukan judul. Masing-masing penulis-24 orang-punya keinginan sendiri-sendiri, dan akhirnya disepakati judulnya adalah 'Omnibus Story'.
Setelah penentuan judul, langkah berikutnya adalah kami memeriksa dan mengedit kembali, dengan bimbingan mentor, naskah masing-masing sebelum dikumpulkan dan diserahkan ke penerbit.
Proses selanjutnya; editing, lay-out, design cover, dan cetak, kami serahkan ke pihak penerbit. Dan karena sekolah menulis yang diasuh Pak Cah ini punya penerbitan sendiri, maka jadi lebih mudah. Alhamdulullah, Pak Cah dan Bu Ida (istri Pak Cah), berkenan memberi kata pengantar dan menyumbangkan artikel untuk buku Antologi kami ini.
Kurang dari dua bulan, akhirnya masing-masing kami menerima buku antologi ini. Tentu saja saya merasa senang dan terharu, melihat nama saya ada di sampul buku sebagai (salah seorang) penulisnya. Apalagi ada nama Pak Cahyadi Takariawan bersama nama-nama kami.
Tanpa perlu menanyakan ke teman-teman yang menulis di buku anotologi itu, saya yakin mereka merasakan hal sama dengan saya; senang, bahagia dan terharu. Dan di antara teman-teman itu ada yang mengatakan bahwa buku antologi ini menambah semangat untuk terus menulis, dan berharap nanti tidak hanya menulis buku antologi tetapi menulis buku solo atau karya sendiri.
Untuk menggapai sesuatu terkadang memang dibutuhkan pemicu semangat. Sebagaimana sebuah kendaraan bermotor yang bergerak karena dipicu percikan api di busi. Percikan yang kecil tetapi mampu menggerakkan mesin kendaraan yang besar.
Menulis antologi bisa dijadikan pemicu semangat untuk menulis terus sampai menghasilkan naskah yang layak untuk diterbitkan menjadi buku.
Semoga pengalaman saya di atas bermanfaat untuk Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H