Diperlukan diskusi yang panjang untuk menentukan judul. Masing-masing penulis-24 orang-punya keinginan sendiri-sendiri, dan akhirnya disepakati judulnya adalah 'Omnibus Story'.
Setelah penentuan judul, langkah berikutnya adalah kami memeriksa dan mengedit kembali, dengan bimbingan mentor, naskah masing-masing sebelum dikumpulkan dan diserahkan ke penerbit.
Proses selanjutnya; editing, lay-out, design cover, dan cetak, kami serahkan ke pihak penerbit. Dan karena sekolah menulis yang diasuh Pak Cah ini punya penerbitan sendiri, maka jadi lebih mudah. Alhamdulullah, Pak Cah dan Bu Ida (istri Pak Cah), berkenan memberi kata pengantar dan menyumbangkan artikel untuk buku Antologi kami ini.
Kurang dari dua bulan, akhirnya masing-masing kami menerima buku antologi ini. Tentu saja saya merasa senang dan terharu, melihat nama saya ada di sampul buku sebagai (salah seorang) penulisnya. Apalagi ada nama Pak Cahyadi Takariawan bersama nama-nama kami.
Tanpa perlu menanyakan ke teman-teman yang menulis di buku anotologi itu, saya yakin mereka merasakan hal sama dengan saya; senang, bahagia dan terharu. Dan di antara teman-teman itu ada yang mengatakan bahwa buku antologi ini menambah semangat untuk terus menulis, dan berharap nanti tidak hanya menulis buku antologi tetapi menulis buku solo atau karya sendiri.
Untuk menggapai sesuatu terkadang memang dibutuhkan pemicu semangat. Sebagaimana sebuah kendaraan bermotor yang bergerak karena dipicu percikan api di busi. Percikan yang kecil tetapi mampu menggerakkan mesin kendaraan yang besar.
Menulis antologi bisa dijadikan pemicu semangat untuk menulis terus sampai menghasilkan naskah yang layak untuk diterbitkan menjadi buku.
Semoga pengalaman saya di atas bermanfaat untuk Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H