Penulis sejati hadir untuk menyelesaikan permasalahan, bukan justru membuat atau menimbulkan masalah. Tangan-tangan mereka tergerak mengambil pena, ketika hati mereka menjerit melihat persoalan yang terjadi.
Tulisan mereka bagai air yang mengalir jernih untuk diminum oleh siapapun yang dahaga akan ilmu. Karya mereka menjadi batu bata pertama perubahan, bukan sebagai karya mercusuar yang indah namun tanpa isi. Dengan kata lain, mereka adalah pemecah masalah.
Dari sekian banyak penulis sejati seperti itu, kita akan bercermin kepada sosok Imam Syafi'i.
Suatu ketika seorang muridnya, Abdurrahman bin Mahdi, mengirim sepucuk risalah. Dalam surat itu, sang murid menceritakan tentang perdebatan, perselisihan, dan perseteruan madrasah ahli hadis dengan madrasah ahli ar-ra'yu. Kedua kelompok ini sepakat untuk menggunakan hadis sebagai hujjah.
Namun, mereka berbeda pendapat ketika ada masalah sementara tidak menemukan hadits tentang masalah tersebut. Pertama, apakah boleh menggunakan akal untuk mencari solusinya. Dan kedua, dalam persoalan furu', apakah boleh menggunakan akal atau tidak? Kelompok pertama berpusat di Madinah al-Munawarah, sedangkan kelompok kedua berada di Iraq.
Lalu, Imam Syafi'i menjawab surat itu dengan menulis buku, yang diberi judul 'Ar-Risalah', bukan dengan perkataan. Sebab, beliau tidak ingin ikut dalam perdebatan. Beliau tuangkan buah pikirannya tentang tema dan kaidah dasar masalah fiqh. Beliau jelaskan kedudukan Al-Quran dan As-Sunnah dan posisi keduanya sebagai sumber hukum. Beliau jelaskan kaidah bahasa Arab, pun beliau terangkan kaidah qiyas, dan seterusnya.
Pembahasan dalam buku berjudul "Ar-Risalah" ini, kemudian kita kenal dengan Ilmu Ushul Fiqh. Kitab Risalah ini seolah-olah menjadi pengantar dari kitab "Al-Umm", kitab fenomenal karya beliau, yang dijadikan landasan dalam beramal oleh kaum Muslimin yang mengikuti mazhab beliau.
Karya yang ditulis Imam Syafi'i pada penghujung abad ke-2 itu menjadi rujukan kelompok ahli hadist, kelompok ahli ra'yu, dan para ulama Islam lainnya. Bahkan selama 200 tahun, belum ada yang mengikuti jejak beliau: menulis buku Ushul Fiqh. Baru kemudian pada abad ke-4, Al-'Alamah Ibnu Abdul Jabbar menulis buku Al-'Umdah fi Ushulul Fiqh [415 H], Imam al-Haramain al-Juwainy menulis buku Al-Burhan fi Ushuli al-Fiqh, dan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menulis buku Al-Mustashfa min 'Ilmi Ushulil Fiqh.
Penulis kelahiran Gaza itu, sejak 15 abad yang lalu bersemanyam di pemakaman Cairo, tapi nama beliau tetap hidup dalam kitab Ar-Risalah. Nama beliau abadi, menjadi nama madzhab fiqh, yaitu madzhab Asy-Syafi'iyah. Tidak terhitung penerbit yang mencetak ulang karya itu; tidak terhitung para penuntut ilmu membaca karya itu; dan tidak terhitung pula pahala yang mengalir kepada penulis sejati itu.
Bahkan, setiap salat tanpa terputus selama 40 tahun, Imam Ahmad mendoakan Imam Syafi'i. Sampai-sampai anak Imam Ahmad bin Hambal bertanya, "Siapak Imam Syafi'i itu, sampai-sampai ayah begitu sering mendoakan beliau?"