Memiliki keluarga yang harmonis, yang seia-sekata sesama anggota keluarga, saling menghargai dan menghormati, merupakan dambaan semua orang.
Keluarga, idealnya, terdiri dari ayah, ibu, dan anak(-anak). Karena kondisi saja bahwa keluarga itu terdiri dari ayah dan anak, ibu dan anak, atau ayah dan ibu saja tanpa anak. Sehingga untuk menggapai keluarga yang didambakan, antar anggota keluarga harus terjalin koneksi yang baik. Salah satunya adalah jalinan komunikasi.
Bagi seorang Muslim, tidak ada lagi pedoman yang layak dijadikan acuan dalam menjalani kehidupannya selain Al-Quran. Karena di dalam Al-Quran semuanya sudah lengkap, termasuk pedoman membina rumah tangga (keluarga). Untuk mengelola sebuah keluarga sehingga menjadi 'baiti jannati' (rumahku surgaku) Allah swt sudah memberikan segala petunjuknya melalui firman-Nya dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran sudah tersedia pedoman bagi semua anggota keluarga, baik dia sebagi seorang ayah (suami), ibu (istri), maupun sebagai anak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengulas bagaimana pola komunikasi seorang ayah dengan anak di dalam Al-Quran.
Dialog ayah dengan anak di dalam Al-Quran ada di 14 keadaan (kondisi), yaitu di surat:
Al-Baqarah ayat 132-133
Al-An'am ayat 74
Hud ayat 42-43
Yusuf ayat 4-5
Yusuf ayat 11-14
Yusuf ayat 16-18
Yusuf ayat 63-67
Yusuf ayat 81-87
Yusuf ayat 94-98
Yusuf ayat 99-100
Maryam ayat 41-48
Al-Qashash ayat 26
Luqman ayat 13-19
Ash-Shaffat ayat 102
Namun, dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengulas 5 kondisi, yaitu:
 Al-Baqarah ayat 132
Hud ayat ayat 42
Yusuf ayat 5
Luqman ayat 13, 16 dan 17
Ash-Shaffaat ayat 102
Mari kita lihat redaksi terjemahan dari ayat-ayat di atas.
Surat al-Baqarah ayat 132
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam'."
Sudah selayaknya seorang ayah senantiasa memberi nasihat kepada anak-anak untuk selalu istiqomah, konsisten dengan syariat Islam. Tentu saja yang dimaksud bukan memberi nasihat seperti; 'jangan begitu, harus begini'. Namun, seorang ayah harus harus mengajarkan, memberitahukan, membimbing supaya anak-anak memahami dan kemudian menjalankan syariat Islam.
Surat Hud ayat 42
"Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, 'Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir'."
Ayat ini mengisahkan tentang Nabi Nuh saat mengajak anaknya yang bernama Kan'an, yang menolak menaiki perahu, saat Allah Swt mengazab kaumnya dengan air bah (banjir) yang akan menenggelamkan seluruh daratan. Dengan sikap kebapakan, Nabi Nuh terus membujuk Kan'an untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang yang justru akan mencelakakannya. Sampai kemudian Nabi Nuh berhenti saat Allah Swt menegaskan bahwa anaknya termasuk orang-orang yang akan celaka.
Apa yang dilakukan Nabi Nuh menunjukkan seorang ayah tidak boleh frustasi, pesimis, saat melihat perilaku anak-anaknya yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Teruslah panggil dengan kelembutan, sebagaimana Nabi Nuh memanggilnya dengan 'Wahai anakku!'. Jangan langsung ditegur dengan keras, dimarahi, apalagi dengan kalimat-kalimat kasar yang menyakitkan.
Surat Yusuf ayat 5
"Dia (ayahnya) berkata, 'Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia'."
Ayah Nabi Yusuf, Nabi Ya'qub, memberi nasihat kepadanya bahwa tidak semua perilakunya akan disenangi oleh semua orang, termasuk oleh kakak-kakaknya. Nabi Ya'qub menasihati Nabi Yusuf bahwa siapapun bisa menjadi musuh. Sehingga harus hati-hati dalam bertindak atau berbicara.
Surat Luqman ayat 13, 16, dan 17
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, 'Wahai anakku janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar'."
"(Luqman berkata), 'Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti'."
"Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting."
Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan menjadi nama surat. Luqman menanamkan aqidah yang kuat kepada anaknya dengan menasihatinya untuk tidak menyekutukan Allah. Aqidah adalah pondasi, kalau pondasi lemah, sehebat apapun bangunan di atasnya, niscaya tidak akan kuat bertahan.
Selanjutnya Luqman menasihati anaknya untuk berbuat baik, sekecil apa pun perbuatan baik itu, serta mengajak orang lain untuk berbuat baik pula.
Â
Surat ash-Shaffaat ayat 102
"Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaiman pendapatmu!'. Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar'."
Ini kisah yang sangat fenomenal, bahkan kisah ini menjadi awal adanya syariat perintah berqurban dengan memotong hewan ternak, yang sepekan lagi akan dilaksanakan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia.
Ayat ini mengisahkan saat Nabi Ibrahim menerima wahyu, melalui mimpi, yang memerintahkannya untuk menyembelih anaknya, Ismail. Nabi Ibrahim tidak serta-merta langsung melaksanakan perintah Allah tersebut, tetapi mengajak Ismail berdialog terlebih dahulu.
Ayat ini memberi pelajaran, apa pun yang ingin dilakukan orangtua, hendaknya terlebih dahulu didialogkan, dimusyawarahkan, didiskusikan, sehingga terjadi kesepakatan dari semua anggota keluarga.
Jawaban Nabi Ismail di ayat ini pun, 'Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar', menunjukkan kedewasaan berpikir beliau. Dan tentu saja kedewasaan berpikir ini tidak muncul ujug-ujug, tetapi hasil didikan dari orangtuanya, Nabi Ibrahim dan Hajar.
Demikian beberapa dialog seorang ayah dengan anaknya di dalam Al-Quran. Semoga kita, para ayah, dapat meneladaninya.
Semoha bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H