Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tiga Pengalaman Tak Terlupakan sebagai Ketua RT

2 Juni 2022   09:12 Diperbarui: 2 Juni 2022   09:24 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa, sudah 3 tahun saya menjadi pejabat eselon 6, sebagai ketua RT (Rukun Tetangga). Berbeda dengan jabatan-jabatan lain yang diperebutkan setiap 5 tahun sekali, perebutan yang terjadi di level RT adalah berebut menolak. Jarang ada warga yang sukarela mencalonkan diri atau menawarkan diri menjadi Ketua RT.

Begitupun yang terjadi saat Ketua RT di perumahan tempat saya tinggal ujug-ujug membuat surat pengunduran diri dan dibagikan ke semua warga. Tidak ada alasan yang dijelaskan dalam surat tersebut.

Lalu, beberapa warga terutama para sesepuh perum bersepakat menunjuk saya untuk jadi Ketua RT. Entah apa alasan mereka. Seribu jurus saya keluarkan untuk menolak. Tak mempan. Akhirnya, jabatan Ketua RT tersandang di pundak bersamaan dengan awal pandemi si Covid.

Tentu saja selama 3 tahun menjabat eselon 6 ini banyak kejadian atau peristiwa yang saya alami. Namanya Rukun Tetangga, ya ... yang diurus tetangga. Bukan hanya tetangga kiri kanan rumah, tetapi tetangga seperumahan.

Dari kejadian-kejadian yang terjadi tersebut, ada 3 yang menarik, dan sepertinya takkan terlupakan.

Diajak Nagih Hutang di Tengah Malam

Betul-betul tengah malam, antara pukul 00 sampai pukul 01. Malam itu saya dibangunkan satpam komplek. Saat saya bertanya ada apa, dia hanya berkata, "Pak RT ke Pos saja, di sana ada beberapa orang yang nunggu."

Kaget juga mendengar 'beberapa orang'. "Ada apa ini?" pikirku sambil segera bergegas ke Pos Satpam.

Sesampainya di pos satpam tambah kaget lagi. Di sana sudah ada 5 orang bertampang serem, jaket kulit hitam, ada yang memakai topi kupluk, ada yang rambutnya panjang. Saya sudah curiga mereka tim Buser yang mau menangkap warga. Entah kasus narkoba atau kasus yang lainnya.

Setelah saya mendekat, salah seorang di antara mereka berkata, "Mohon maaf Pak RT, dibangunkan tengah malam. Begini, saya dan teman-teman ini mau menagih hutang ke salah seorang warga Bapak. Orang ini sudah lama menghindar terus dan berpindah-pindah tempat tinggal. Kami sudah menyelidiki, ternyata sekarang tinggal di komplek ini."

Ternyata mereka Debt Collector. Saya pun berpaling ke Satpam Komplek, "Lih, warga yang mana?"

Olih, Satpam Komplek, menjawab, "Yang di C-12, Pak. Baru seminggu pindah ke sini. Belum lapor ke Bapak, ya? padahal sudah saya suruh lapor."

Saya hanya mengangguk.

"Tadi kami sudah ke rumahnya, tetapi yang punya rumah tidak mau keluar. Mungkin tahu akan ditagih. Nah, kami mohon Pak RT mau mengantar kami untuk ke rumahnya lagi," kata Debt Collector yang tadi bicara. "Kalau dengan Pak RT mudah-mudahan mau keluar."

Saya pun menyanggupi. Lalu, setelah beberapa kali salam dan menyebutkan bahwa saya adalah Ketua RT perumahan, yang punya rumah mau keluar. Ternyata yang ada di rumah cuma istrinya. Sementara suaminya, yang menjadi target Debt Collector, tidak ada.

Setelah memaksa istri si target memberikan alamat atau tempat-tempat dimana suaminya kemungkinan bersembunyi. Mereka pun berpamitan. Saya pun pulang dengan rasa kantuk yang hilang.

Dan, beberapa hari kemudian si warga itu keluar dari komplek, pindah rumah lagi

Mendamaikan Istri Tua dan Istri Muda

Sabtu sekitar pukul 8 pagi. Saat sedang menikmati liburan, tiba-tiba ponselku bordering. Tetangga yang rumahnya di blok belakang meminta saya datang ke rumahnya, sekarang juga.

Sampai di rumahnya ternyata sudah ada 2 orang ibu-ibu.

"Begini, Pak RT. Ibu ini bilang bahwa suaminya disinyalir punya istri muda, dan istri mudanya itu tinggal di komplek ini," kata tetangga saya seraya menunjuk ibu yang duduk di depannya.

"Oh ya, rumah yang mana, ya?"

"Itu Pak RT, rumah yang depan itu, bu Nni." Tetangga saya menunjuk satu rumah yang ada di depan rumahnya.

"Kemungkinan suami saya sekarang juga ada di rumah itu, Pak RT. Karena semalam tidak pulang." Ibu yang tadi ditunjuk ikut berbicara.

"Lalu, sekarang bagaimana?"

"Saya mohon Pak RT mau mendampingi saya mendatangi rumah itu. Memastikan betul tidak dia istri muda suami saya, syukur-syukur suami saya masih ada di rumah itu, jadi betul-betul ketahuan." Pinta si ibu.

Saya pun menyanggupi. Bertiga kita pun mendatangi rumah yang dimaksud, disertai teman si ibu, sedangkan tetangga saya tidak ikut.

Setelah mengucapkan salam, dan Bu Nni membukakan pintu, saya pun berkata, "Maaf, Bu. Ini ada ...."

"Alaaah ..., ga usah basa-basi Pak RT. Kamu pasti simpenannya si Ddy, ya? Saya istrinya. Dia pasti lagi ada di dalam."

Belum sempat saya menyelesaikan kalimat, si Ibu melabrak bu Nni, dan tanpa dipersilahkan, langsung masuk ke rumah.

"Eh ..., ibu mau apa, masuk-masuk?" cegah bu Nni.

"Saya mau nyari suami saya, dia pasti ngumpet di dalam." Berkata demikian, si Ibu langsung masuk ke dalam rumah. Setiap ruangan dimasuki, termasuk lantai atas. Namun nihil, suaminya tidak ada. Ga kebayang kalau suaminya ada.

Kesal tidak menemukan suaminya, kemarahannya pun dilampiaskan ke bu Nni. Adu mulut pun terjadi. Beruntung tidak saling jambak rambut.

Beberapa menit menyaksikan peperangan yang tak terhindarkan itu, saya pun angkat bicara.

"Maaf, Bu Nni. Kalau ibu tadi mengaku sudah dinikahi pak Ddy. Tolong perlihatkan buku nikahnya!"

"Belum ke KUA, Pak RT. Baru nikah siri."

"Kalau begitu, tolong, Bu. Saya minta nomor suami ibu," kata saya ke si Ibu.

Setelah mendapat nomornya, saya langsung menelepon. "Halo, ini betul dengan bapak Ddy?"

"Iya betul, dengan siapa ya?"

"Saya, Urip. Ketua RT Perum Griya S. Ini saya sedang bersama istri bapak di rumah bu Nni. Saya mau nanya, betul bapak sudah menikah dengan bu Nni?"

Yang ditelepon tidak segera menjawab. Mungkin kaget, dan tidak menyangka ada pertemuan mendadak dua istrinya.

Beberapa jenak kemudian, "Iya, sudah. Saya menikah dengan Nni."

"Begini saja, Pak! Saya tidak ingin ada keributan di komplek ini. Untuk itu, tolong saya minta dokumen, bukti bapak sudah menikah dengan ibu Nni. Kalau tidak ada bukti, saya akan meminta Satpam komplek untuk melarang bapak masuk ke komplek ini."

Saya pun mengakhiri telepon.

"Begitu saja, Bu. Tolong sekarang ibu pulang saja, dan selesaikan masalahnya dengan suami ibu." Saya menoleh ke si ibu. "Dan untuk bu Nni, selama belum ada dokumen bukti menikah, saya tidak mengizinkan ibu menerima pa Ddy, karena bisa dianggap berbuat zinah."

Kedua ibu itu, kelihatannya, cukup puas dengan keputusan saya.

Dimintai Tolong Janda Cantik

Di suatu sore, ponsel saya berdering. Saat melihat siapa yang menelepon saya kaget. Di layar tertera nama Lsy, seorang janda cantik, yang kebetulan warga perum, dan rumahnya hanya beberapa meter dari rumah saya.

Sebagai seorang Kepala Daerah yang bertanggung jawab, tentu saya terima teleponnya. Walaupun dipenuhi tanda-tanya, dan hati dag-dig-dug karena istri duduk di samping saya.

"Assalamu'alaikum, Bu Lsy, ada apa ya?" tanyaku.

"Pak RT, maaf, bisa minta tolong? Bisa ke rumah sekarang?"

Tentu saja kekagetanku bertambah. Sore-sore, menjelang Maghrib, seorang janda cantik memintaku datang ke rumahnya. Tak mau dikira ada affair, kemudian saya aktifkan loudspeaker, supaya yang lagi duduk di sebelah ikut mendengar.

"Maaf, Bu. Minta tolong apa ya?"

"Begini, Pak RT. Saya terkunci di dalam rumah. Ga bisa keluar. Bisa minta tolong, bukain pintu rumah?"

Karuan saja, yang disebelah melotot, mendengar permintaan yang aneh itu.

"Bagaimana ... bagaimana maksudnya, Bu?" Saya bertanya sambil menoleh ke yang duduk di sebelah.

"Anak saya yang besar marah, Pak RT. Dia keluar lalu ngunci rumah dan kuncinya dilempar ke rumah kosong yang ada di depan rumah."

"Lalu putra ibunya di mana?"

"Ada di luar, di depan rumah. Tolong Pak RT, saya ga bisa keluar."

Janda cantik minta tolong untuk datang ke rumahnya. Kok memori saya jadi inget cerita-cerita stensilan dulu, ya?

Soalnya yang kayak gini sering dijadiin modus tuh.

Saya pun beranjak ke luar rumah. Yang duduk di sebelah tentu saja ngikut, walau ga diajak. Terlihat rona curiga di tatapannya. Dikiranya ini benar-benar modus, mungkin.

Singkat cerita, sampai di depan rumah Sang Janda. Rupanya anak pertamanya, yang baru kelas 5 SD, ngambek, entah pingin apa, lalu mengunci ibu, adik, dan ART-nya di dalam rumah. Dan kuncinya dilempar. Karuan saja, yang di dalam rumah panik.

Saya pun mencari-cari anak kunci. Sekitar 10 menit baru ketemu. Setelah menyerahkan kuncinya saya pun pamit. Sang Janda pun mengucapkan terimakasih. Entah sambil ngedipkan mata sebelah atau tidak, saya tidak begitu memperhatikan. Soalnya, nih yang di sebelah terus nempel.

Demikian pengalaman yang paling berkesan selama menjabat Ketua RT. Sebenarnya masih ada lain yang menarik untuk diceritakan, tetapi terlalu panjang kalau ditulis, cukup yang tiga itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun