Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kisah Lima Orang Buta dan Gajah

18 Mei 2022   08:09 Diperbarui: 18 Mei 2022   22:17 4035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melihat gajah di kebun binatang. Foto: Antara Foto/Aditya Pradana Putra via Kompas.com

Dikisahkan ada enam orang buta yang penasaran dengan bentuk gajah. Setelah mereka berdiskusi cara untuk mengetahui bagaimana persisnya bentuk gajah, mereka pun mengunjungi kebun binatang.

Sampai di kebun binatang, keenamnya menemui petugas dan menceritakan keinginan mereka. Petugas pun paham, lalu membawa mereka ke kandang gajah.

"Tapi maaf, karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, saya hanya memberi waktu 1 menit kepada kalian untuk memegang gajah." Sesaat sebelum membuka pintu kandang, si petugas memberi peringatan.

Keenam orang buta itu pun mengangguk, tanda mengiyakan.

Mereka kemudian melangkah mendekati gajah, mengikuti si petugas yang berjalan di depan, dan langsung menepuk-nepuk punggung gajah, seolah berkata, 'tenang, mereka hanya akan menyentuhmu sebentar'.

Setelah bisa menyentuh gajah, keenam orang buta itu tidak mau membuang waktu yang cuma 1 menit. Mereka segera memegang bagian tubuh gajah, mengelusnya, memijit-mijitnya, dan membayangkannya ke dalam imajinasi mereka.

Waktu satu menit pun habis. Si petugas segera mengingatkan keenamnya untuk segera keluar kandang. Karena takut gajah yang mereka pegang-pegang itu marah, mereka pun segera berjalan ke luar kandang.

sumber: pinterest
sumber: pinterest

Keenamnya kembali ke tempat tinggal mereka dan melanjutkan diskusi mereka tentang gajah.

"Tak kusangka, ternyata gajah itu seperti tiang asrama kita, cuma lembek saja karena berisi daging, bukan tembok," kata Banu, yang memegang kaki gajah, memulai diskusi.

"Hah, kayak tiang? Kau salah, kawan. Gajah itu seperti kabel, hanya diameternya lebih besar dan lebih lentur." Bono, yang memegang ekor gajah, menyanggah pendapat Banu.

"Hahaha ... kalian berdua ini tadi megang apa, sih? Yang jelas gajah itu seperti dinding, lebar. Tanganku pun tidak sampai ke ujung atasnya. Memang betul kata Banu tadi, bedanya ini empuk tidak seperti dinding asrama kita," balas Beni. Dia tadi memegang bagian badan dari gajah.

"Kau yang salah! Aku tadi memegangnya dari ujung bawah sampai ujung atas, bolak-balik. Bahkan aku menggoyang-goyangkannya. Kokoh seperti tiang," timpal Banu.

"Tidak! Seperti tembok. Tadi aku merentangkan kedua lenganku selebar-lebarnya. Bahkan aku terus putar lenganku ke kiri dan ke kanan. Rata, seperti dinding." Beni tidak mau kalah.

"Hei, Bona, Beno, Bani, menurutmu siapa yang benar. Seperti dinding, atau seperti tiang? Atau seperti kabel sesuai pendapatku?" Bono bertanya kepada Bona, Beno, dan Bani yang sedari tadi diam.

"Kalian ketiga-tiganya salah." Hampir bersamaan Bona, Beno dan Bani menjawab.

"Hah! Apa pula pendapat kalian?" Beni kaget mendengar kedua temannya itu, yang ternyata mempunyai pendapat yang berbeda.

Bona kemudian berkata, gajah itu seperti pipa yang lentur, yang bisa bergerak, dan dari ujungnya yang berlubang keluar cairan berlendir.

Adapun Beno berkata bahwa gajah itu seperti tulang yang keras, bentuknya agak melengkung, dan ujungnya runcing.

Sementara Bani mengatakan bahwa gajah itu bentuknya lebar seperti kipas. Agak bundar, dan lentur.

"Tidak mungkin! Menurutku, sebagaimana pertama kali kita mendengar bahwa gajah itu binatang yang besar, pendapatkulah yang benar. Gajah itu lebar dan tinggi seperti dinding," kata Beni dengan suara lebih keras dari sebelumnya.

"Tidak! Menurutku seperti kabel," ujar Bono. Suaranya mengimbangi suara keras Beni.

"Tidak ...!"

"Bukan ...!"

"Pendapatku yang benar!"

"Kalian semua salah!"

Satu jam lebih keenam orang buta itu berdebat. Dan masing-masing keukeuh dengan pendapatnya. Kalau saja mereka berenam bukan orang-orang yang sudah berteman lama, perdebatan mereka mungkin diakhiri perkelahian.

Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk kembali ke kebun binatang. Namun, bukan untuk memegang gajah lagi, melainkan untuk meminta kepada si petugas kebun binatang untuk menjelaskan bentuk gajah yang sebenarnya.

Singkat cerita mereka sudah berada di hadapan si petugas. Mereka pun menceritakan perdebatan mereka tentang bentuk gajah.

"Masing-masing kalian tidak salah. Namun, kurang benar," kata si petugas.

"Maksudnya?" Banu dan Bono serempak bertanya. Sementara yang lain hanya mengernyitkan dahi.

"Iya. Yang kalian pegang, yang kemudian kalian katakan sebagai gajah, betul itu gajah. Tapi itu bukan gajah seutuhnya, itu hanya bagian-bagian dari tubuh gajah."

Keenamnya terdiam. Si petugas menyadari bahwa mereka belum mengerti dengan penjelasannya. Sehingga kemudian dia melanjutkan.

"Kalian berenam memegang gajah yang sama, tetapi kalian memegang bagian tubuhnya yang berbeda. Tadi yang bilang gajah itu seperti tiang, itu karena yang dipegangnya bagian kaki. Begitupun yang bilang gajah itu seperti kabel, karena yang dipegang ekornya.

"Lalu yang bilang gajah seperti dinding, itu karena memegang badan gajah. Sama juga yang tiga orang lagi, yang menganggap gajah seperti pipa yang bisa bergerak, atau seperti tulang yang runcing, atau seperti kipas yang besar, karena masing-masing memegang bagian yang berbeda."

Keenamnya mengangguk, mulai memahami penjelasan dari si petugas.

"Lalu, bagaimana kami bisa memahami bentuk gajah yang seutuhnya?" Tiba-tiba Banu bertanya.

Si petugas menyempatkan tersenyum sebelum menjawab. "Pertama, kalian harus melepaskan ego kalian."

"Maksudnya?" Kali ini Boni yang bertanya.

"Kalian jangan menganggap pendapat kalian yang paling benar, sekaligus menganggap pendapat teman kalian salah," jawab si petugas. "Kedua, kalian harus menerima pendapat teman kalian. Gabungkan pendapat kalian berenam. Anggap pendapat teman kalian itu sebagai pelengkap pendapat kalian."

Si petugas menjeda penjelasannya untuk melihat reaksi keenam orang buta tersebut.

"Kalau kalian menerima pendapat teman kalian dan kemudian menggabungkannya, maka kalian akan mendapatkan gambaran gajah seperti ini. Gajah itu binatang yang besar dan tinggi, badannya seperti dinding, lebar. Memiliki kaki yang kokoh seperti tiang, dan ekornya seperti kabel yang lentur. 

Lalu, di depannya ada belalai, bentuknya seperti pipa lentur yang bisa bergerak, serta memiliki telinga yang bundar seperti kipas lebar."

Mendengar penjelasan tersebut keenam orang buta tersenyum. Mereka puas, dan merasa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang gajah.

"Tunggu, jangan puas dulu!" sambil berkata demikian, si petugas berjalan menuju lemari buku yang ada di ruangan itu, mengambil sebuah buku, lalu menyerahkannya ke salah seorang mereka.

"Supaya kalian lebih yakin bagaimana bentuk gajah. Ini buku tentang binatang-binatang yang ada di kebun binatang ini. Di dalamnya ada penjelasan tentang gajah, bagaimana bentuknya, apa makanannya, bagaimana kebiasaannya, dan lain-lainnya. Buku ini berhuruf Braile, jadi kalian bisa membacanya. Silahkan baca bersama-sama."

Setelah mengucapkan terimakasih, keenam orang buta itu pun berpamitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun