"Hah, kayak tiang? Kau salah, kawan. Gajah itu seperti kabel, hanya diameternya lebih besar dan lebih lentur." Bono, yang memegang ekor gajah, menyanggah pendapat Banu.
"Hahaha ... kalian berdua ini tadi megang apa, sih? Yang jelas gajah itu seperti dinding, lebar. Tanganku pun tidak sampai ke ujung atasnya. Memang betul kata Banu tadi, bedanya ini empuk tidak seperti dinding asrama kita," balas Beni. Dia tadi memegang bagian badan dari gajah.
"Kau yang salah! Aku tadi memegangnya dari ujung bawah sampai ujung atas, bolak-balik. Bahkan aku menggoyang-goyangkannya. Kokoh seperti tiang," timpal Banu.
"Tidak! Seperti tembok. Tadi aku merentangkan kedua lenganku selebar-lebarnya. Bahkan aku terus putar lenganku ke kiri dan ke kanan. Rata, seperti dinding." Beni tidak mau kalah.
"Hei, Bona, Beno, Bani, menurutmu siapa yang benar. Seperti dinding, atau seperti tiang? Atau seperti kabel sesuai pendapatku?" Bono bertanya kepada Bona, Beno, dan Bani yang sedari tadi diam.
"Kalian ketiga-tiganya salah." Hampir bersamaan Bona, Beno dan Bani menjawab.
"Hah! Apa pula pendapat kalian?" Beni kaget mendengar kedua temannya itu, yang ternyata mempunyai pendapat yang berbeda.
Bona kemudian berkata, gajah itu seperti pipa yang lentur, yang bisa bergerak, dan dari ujungnya yang berlubang keluar cairan berlendir.
Adapun Beno berkata bahwa gajah itu seperti tulang yang keras, bentuknya agak melengkung, dan ujungnya runcing.
Sementara Bani mengatakan bahwa gajah itu bentuknya lebar seperti kipas. Agak bundar, dan lentur.
"Tidak mungkin! Menurutku, sebagaimana pertama kali kita mendengar bahwa gajah itu binatang yang besar, pendapatkulah yang benar. Gajah itu lebar dan tinggi seperti dinding," kata Beni dengan suara lebih keras dari sebelumnya.