Semakin mendekati lebaran hati Udin semakin galau. Kalau lebaran kali ini tidak pulang kampung, berarti sudah 2 kali dia tidak mudik. Ini yang menjadi sumber kegalauan Udin, pulang salah tidak pulang pun salah.
Ketidakpulangan saat lebaran tahun lalu Udin punya banyak alasan; pandemi, dilarang mudik. Namun sekarang ga bisa dia beralasan itu, semua tahu, termasuk istri dan orangtuanya di kampung, sekarang sudah normal kembali.
Kalau tidak mudik, istri dan orangtuanya akan mempertanyakan. Dan kalau pulang, Udin takut bohongnya selama ini akan ketahuan.
Selama ini Udin selalu memberi kabar kepada mereka di kampung bahwa dia bekerja di sebuah pabrik sepatu. Udin sering mengirim uang kepada mereka, sehingga mereka pun percaya. Padahal, sejak pergi ke Jakarta, 2 tahun yang lalu, Udin tidak pernah bekerja tetap.
Sebenarnya itu semua bukan keinginan Udin. Dia melakukan itu semua karena terpaksa, dan karena tertipu Mang Dadang dan Kang Herman, tetangganya yang sudah lama di Jakarta dan mengaku sukses. Itu terjadi dua tahun yang lalu.
Saat itu Udin dikeluarkan dari pekerjaannya, di pabrik mebel Juragan Samad. Pandemi menjadi alasan juragan Samad memberhentikan Udin. Tidak mau menganggur, apalagi dia baru menikah, Udin berminat untuk merantau ke Jakarta.
"Kehidupan di Jakarta itu keras, Din," ujar Mang Dadang saat Udin mengutarakan keinginannya. "Kamu harus siap malu dan peras keringat. Kamu harus mau bekerja apa saja."
"Betul, Din. Di sana segalanya pake duit. Ga ada yang gratis, paling kentut yang gratis," timpa Kang Herman.
Udin tersenyum mendengarnya lalu berkata, "Saya siap, Mang. Daripada diam di kampung ga ada penghasilan. Saya siap bekerja apa pun, yang penting dapat bayaran."
Dua hari kemudian Udin pun berangkat ke Jakarta bersama Mang Dadang dan Kang Herman. Sampai di Jakarta menjelang Magrib, untuk sementara Udin ikut tidur di kontrakan Mang Dadang dan Kang Herman, yang berupa ruangan 3 x 3 meter yang disekat menjadi 2 ruangan, tanpa dapur, sedangkan kamar mandi di luar.
Keesokan harinya, Mang Dadang dan Kang Herman sudah berangkat. Udin disuruh menunggu saja di kontrakan.
"Hari ini kamu istirahat saja, itung-itung merasakan udara Jakarta yang panas. Masalah pekerjaan, nanti saya akan bilang dulu ke Bos. Semoga Bos menerima tambahan anggota." Mang Dadang berkata seraya memasukkan sesuatu ke dalam tas punggungnya, sepertinya seragam.
Kang Herman hanya mengangguk. Dia pun melakukan hal yang sama memasukkan seragamnya ke dalam tas punggungnya. Udin merasa heran, kalau itu seragam, kenapa mereka tidak mengenakannya, kenapa harus dibekal.
Keheranan bertambah karena selama di kampung dan di perjalanan pun, Mang Dadang dan Kang Herman tidak pernah berbicara tentang pekerjaan mereka. Beberapa kali Udin bertanya, jawaban mereka selalu mirip, "Nanti saja kalau sudah sampai, yang penting kamu harus siap mental."
Dan jawaban dari keheranan Udin tiba di pagi esok harinya. Saat mereka bertiga selesai sarapan nasi kuning, Mang Dadang menyerahkan bungkusan kepada Udin, seraya berkata, "Kamu beruntung, Bos mau menerima tambahan anggota. Hari ini juga kamu bisa ikut bekerja.
Udin sumringah mendengarnya, dia segera menerima bungkusan yang disodorkan Mang Dadang. "Ini apa, Mang?" tanyanya.
"Itu seragam yang harus dipakai saat bekerja," jawab Kang Herman.
Udin pun dengan tak sabar membuka bungkusan. Namun, sejenak kemudian dia tertegun melihat isi bungkusan yang katanya seragam. Isi bungkusan memang sepasang baju dan celana, tetapi jauh dari layak untuk disebut seragam.
Baju dan celana yang ada di tangan Udin, berupa pakaian kumal, warnanya sudah tidak jelas, kotor dan beberapa lubang serta tambalan menghiasinya. Udin mendongak menatap wajah Mang Dadang dan Kang Herman. Yang ditatap hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelah beberapa jenak ketiganya terdiam, Mang Dadang berkata. "Mencari pekerjaan di Jakarta itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Din."
"Selain harus punya uang untuk nyogok, juga harus punya orang dalam atau koneksi. Pabrik-pabrik atau kantor-kantor di sini tidak sembarangan menerima karyawan baru. Apalagi yang tidak punya ijazah seperti kita." Kang Herman menambahkan.
"Jadi ... jadi ... selama ini ...."
"Ya! Kami selama ini mengemis, meminta-minta, karena hanya itu yang kami bisa," jelas Mang Dadang.
"Tenang, Din. Saya pertamanya juga sama seperti kamu. Pasti ragu, malu. Lagian penghasilan dari mengemis lumayan. Cukup untuk hidup di Jakarta dan menabung untuk dikirim ke kampung," kata Kang Herman.
"Kenapa Mang Dadang dan Kang Herman tidak cerita dari awal?" tanya Udin pelan.
"Kalau kami cerita, apa kamu mau ikut?" Mang Dadang tersenyum sinis.
"Saya hanya kasian ke kamu, Din. Setiap hari kamu curhat, waktu saya pulang, bahwa kamu menganggur, kamu butuh uang," timpal Kang Herman.
"Sekarang tinggal kamu ambil keputusan. Mau ikut mengemis atau mau pulang lagi ke kampung?" tanya Mang Dadang.
Pulang, tentu bukan keputusan yang tepat, tidak menyelesaikan masalaha keuangannya. Akhirnya, Udin bersedia ikut Mang Dadang dan Kang Herman.
Tak terasa, 2 tahun menjalankan profesi sebagai pengemis, tanpa istri dan orangtuanya tahu. Haruskah dia pulang lebaran kali ini?
Haruskah dia berterus-terang pada istri dan orangtuanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H