Ternyata, setelah kapal berbalik arah. Kapal mau bergerak. Bahkan kapal bergerak dengan cepat, sehingga dalam waktu singkat sampai di Pelabuhan Gresik. Nakhoda kemudian membawa kotak berisi bayi itu ke majikan mereka. Awalnya mereka dimarahi karena kembali sebelum sampai di Bali. Namun, setelah dijelaskan dan diperlihatkan apa yang mereka bawa, juragan mereka yang bernama Nyai Gede Pinatih sangat gembira.
Â
Alangkah senangnya Nyai Gede Pinatih karena memperoleh apa yang selama ini didambakan. Nyai Gede Pinatih pun memberi nama bayi itu Joko Samudro, sesuai dengan tempat ditemukannya[2].
Â
Setelah cukup umur, Nyai Gede Pinatih mengirim Joko Samudro ke pondok pesantren yang diasuh Sunan Ampel di Ampel Denta. Melihat ada keistimewaan dalam diri Joko Samudro, Sunan Ampel sangat menyayanginya, sebagaimana menyayangi putranya sendiri.
Â
Selama belajar di Pesantren Sunan Ampel, Joko Samudro diberi nama Raden Paku. Tujuh tahun lamanya Joko Samudro atau Raden Paku belajar Islam. Setelah lulus dan diwisuda dia diberi gelar Ainul Yaqin.
Â
Pada suatu malam, tepatnya di sepertiga malam. Saat Sunan Ampel menglilingi pesantren untuk melihat kondisi santrinya, terlihat olehnya seberkas sinar menerobos salah satu pondok tempat para santri tidur. Dia pun memeriksa ke dalam pondok. Terlihat ada seorang santri yang wajahnya bercahaya. Karena gelap, Sunan Ampel tidak bisa melihat. Oleh karenanya, dia memberi tanda dengan mengikat ujung sarung santri tersebut[3].
Â
Sesaat sebelum salat subuh, Sunan Ampel bertanya, "Siapa di antara kalian yang saat bangun, ujung sarungnya terikat?"