Beberapa hari yang lalu saya menerima e-mail dari change-org yang mengabarkan keberhasilan petisi 'Ibu Tunggal Berhak Namanya Ditulis di Ijazah Anak, Stop Diskriminasi di Dunia Pendidikan!' yang digagas ibu Poppy Diharjo.
Sebelumnya, beberapa kali saya mendapat ajakan untuk menandatangani petisi yang dikirim via e-mail oleh change-org. Memang tidak semua petisi saya tanda tangani, tergantung isu yang diusung petisi tersebut. Tetapi untuk petisi yang digagas ibu Poppy Diharjo ini saya ikut memberi dukungan (ikut menandatangani).
Ada yang istimewa dari petisi yang digagas oleh ibu Poppy Diharjo ini. Bagaimana tidak istimewa, kalau petisi ini ternyata telah mengubah kebijakan seorang Menteri Dikbudristek (Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi).
Ya. Petisi yang telah didukung (ditandatangani) oleh 16.000 orang ini telah 'memaksa' Mendikbudristek mengeluarkan Surat Edaran untuk mengubah aturan yang sudah berlaku selama bertahun-tahun.
Ibu Poppy Diharjo membuat petisi ini bukan tanpa alasan. Suatu hari, seorang temannya curhat. Temannya itu mengeluh karena di ijazah anaknya, nama orang tua yang ditulis adalah nama ayah, bukan nama ibu. Padahal ayah dari anak itu sudah tiada.
Ibu Poppy Diharjo pun penasaran dan bertanya ke sekolah anaknya. Dan mendapat jawaban bahwa memang aturannya di ijazah itu yang ditulis nama ayah bukan nama ibu. Ibu Poppy Diharjo, yang seorang single mom, merasa bahwa ini adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan, terutama ibu tunggal.
Dan akhirnya, lewat 'kekuatan' petisi, diskriminasi tersebut berakhir. Mendikbudristek mengeluarkan Surat Edaran no. 28/2021 yang menjelaskan bahwa nama yang dituliskan di blangko ijazah tidak harus nama ayah peserta didik. Artinya, nama ibu pun bisa dituliskan sebagai nama orangtua.
Tentu saja keluarnya Surat Edaran ini disambut bahagia para ibu tunggal. Tidak akan ada lagi kejadian seorang ibu yang harus berjuang mati-matian hanya supaya namanya bisa ditulis di ijazah anak mereka.
Keberhasilan petisi ini, dalam mengubah peraturan Menteri, membuat saya merenung. Ternyata petisi cukup efektif juga untuk digunakan sebagai alat kontrol pemerintah. Seorang ibu rumah tangga saja, keresahannya didengar melalui sebuah petisi. Sesuatu yang sebelumnya saya tidak bayangkan.
Petisi memang sebuah prosedur seseorang atau lembaga mengajukan sesuatu hal kepada pemerintah. Dan ini merupakan hak warga negara. Sebagaimana definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu '(surat) permohonan resmi kepada pemerintah'.
Walaupun hak, tentu tidak semudah yang dibayangkan untuk melayangkan surat kepada pemerintah. Ada prosedur panjang yang harus ditempuh, selain harus mengumpulkan dukungan yang tidak sedikit. Sehingga selama ini petisi hanya sebatas wacana atau hanya ada dalam literatur.
Namun, teknologi internet telah mengubah segalanya. Sesuatu yang dahulu sulit dilakukan sekarang menjadi mudah. Termasuk mengajukan petisi.
Buktinya, petisi yang digagas ibu Poppy Diharjo ini. Petisi yang beliau buat melalui aplikasi change-org telah menggugah warga dunia maya (Netizen/Internet Citizen). Sehingga 16.000 lebih netizen mendukungnya.
Dan ternyata keberhasilan petisi ibu Poppy Diharjo ini bukan yang pertama. Saya lalu mencari di situs pencarian google dan menemukan bahwa setiap tahun ada lebih dari 2 petisi yang digagas netizen yang berhasil.
Misalnya, di tahun 2018, kasus yang dialami seorang dosen IPB, Basuki Wasis yang sering menjadi saksi ahli kasus perusakan tambang, yang digugat oleh mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Akhirnya Koalisi Anti Mafia Tambang berhasil mendapat dukungan 36.000 netizen melalui petisi ke Pengadilan Negeri Cibinong untuk menolak gugatan Nur Alam.
Sebuah petisi lain yang membuktikan rakyat 'menang' melawan pemerintah. Dalam hal ini Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Dan semakin menambah keyakinan saya, bahwa petisi bisa dijadikan alat kontrol bagi pemerintah dalam mengelola negara.
Secara trias politica kekuasaan negara memang terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Tetapi realitanya, fungsi pengawasan yang menjadi tugas legislatif jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi alat kontrol, malah menjadi pendukung pemerintah (Eksekutif).
Bagaimanapun pemerintah harus diawasi, sehingga kemudian lahirlah oposisi. Dengan kekuatan yang cukup, oposisi memang sangat efektif dalam mengawasi dan mengontrol pemerintah. Namun, kalau kekuatan oposisi tersebut lemah, maka akan lemah pula fungsi kontrolnya.
Seperti yang terjadi sekarang. Kekuatan oposisi yang diperankan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sangat sangat lemah. Bisa dimaklumi, PKS yang memiliki 50 kursi harus melawan 7 partai yang berdiri di belakang pemerintah; PDI-P (128 kursi), Golkar (85), Gerindra (78), NasDem (59), PKB (58), dan PAN (44). Â Sementara Demokrat (54) tidak menyatakan secara jelas, ada di pihak oposisi atau tidak.
Bisa terbaca lemahnya PKS dengan 50 kursi harus melawan 452 kursi (tanpa menghitung demokrat). Dan pemerintah pun semakin jumawa merasa tidak akan ada yang sanggup 'melawan' setiap kebijakannya.
Melihat contoh keberhasilan 2 petisi di atas, penulis berharap petisi bisa mengisi kelemahan pihak oposisi (PKS) sebagai pengontrol pemerintah. Apalagi petisi langsung melibatkan masyarakat secara pribadi-pribadi, sehingga motivasinya benar-benar murni membawa keinginan rakyat.
Keyakinan saya petisi ini bisa sebagai alat control pemerintah bertambah setelah membaca sejarah. Bahwa dahulu pun sebuah petisi pernah 'menggoyang' pemerintah, karena keputusannya yang dianggap otoriter.
Saat itu, 5 Mei 1980, sebuah petisi dibuat dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Ali Sadikin, serta mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, dan Mohammad Natsir. (Wikipedia)
Petisi tersebut, yang kemudian dikenal dengan Petisi 50, merupakan sebuah "Ungkapan Keprihatinan". Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila.
Menurut mereka Presiden Soeharto telah menggunakan Pancasila 'sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya'. Soeharto dianggap menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer, dan seolah menganjurkan seorang prajurit untuk memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto.
Petisi 50 tidak sampai menggulingkan kursi Soeharto sebagai Presiden. Bahkan sebaliknya, Soeharto melakukan perlawanan dengan menerapkan boikot terhadap para tokoh Petisi 50. Mereka kemudian dikucilkan dari kehidupan ekonomi dan politik, bahkan dihabisi. Â Mohammad Natsir, dan beberapa tokoh lainnya dicekal dan tidak diperbolehkan pergi ke luar negeri.
Walaupun Petisi 50 ini gagal, tetapi setidaknya telah menunjukkan ada cara lain, ada jalan lain, bagi rakyat untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah. Selain melalui partai oposisi, yaitu melalui petisi.
Tentu saja ini warning untuk para penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H