Keyakinan saya petisi ini bisa sebagai alat control pemerintah bertambah setelah membaca sejarah. Bahwa dahulu pun sebuah petisi pernah 'menggoyang' pemerintah, karena keputusannya yang dianggap otoriter.
Saat itu, 5 Mei 1980, sebuah petisi dibuat dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Ali Sadikin, serta mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, dan Mohammad Natsir. (Wikipedia)
Petisi tersebut, yang kemudian dikenal dengan Petisi 50, merupakan sebuah "Ungkapan Keprihatinan". Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila.
Menurut mereka Presiden Soeharto telah menggunakan Pancasila 'sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya'. Soeharto dianggap menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer, dan seolah menganjurkan seorang prajurit untuk memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto.
Petisi 50 tidak sampai menggulingkan kursi Soeharto sebagai Presiden. Bahkan sebaliknya, Soeharto melakukan perlawanan dengan menerapkan boikot terhadap para tokoh Petisi 50. Mereka kemudian dikucilkan dari kehidupan ekonomi dan politik, bahkan dihabisi. Â Mohammad Natsir, dan beberapa tokoh lainnya dicekal dan tidak diperbolehkan pergi ke luar negeri.
Walaupun Petisi 50 ini gagal, tetapi setidaknya telah menunjukkan ada cara lain, ada jalan lain, bagi rakyat untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah. Selain melalui partai oposisi, yaitu melalui petisi.
Tentu saja ini warning untuk para penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H