Siang itu kota Madinah sepi. Jalan-jalan terlihat lengang. Ini terjadi karena sebagian besar lelaki Muslim berangkat bersama Rasulullah Saw ke bukit Uhud. Menyambut pasukan Quraisy yang ingin menuntut balas atas kekalahan mereka di Perang Badar.
Nusaibah Binti Ka'ab sedang berada di teras rumah saat seorang pengendara kuda mendekatinya.
"Assalamu'alaikum, apakah benar ini rumahnya Said bin Ashim?" tanya si pengendara kuda setelah berada di depannya.
"Wa'alaikum salam. Benar! Aku Nusaibah, istrinya," jawab Nusaibah.
"Rasulullah mengirim salam, berbahagialah! Said, suamimu telah syahid." Berkata si pengendara kuda tanpa turun dari kudanya.
Nusaibah tertunduk sebentar,
"Innalillah ...." gumamnya, "Suamiku telah mendapatlan kemenangan. Terima kasih, ya Allah."
Si pengendara kemudian berbalik dan meninggalkannya setelah mengucapkan salam. Sementara Nusaibah terdiam untuk beberapa saat. Ada rona sedih, ada rona bahagia terlihat di wajahnya. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan.
"Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah Syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan sebagai tentara para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?"
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
"Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Rasulullah hingga kaum kafir kalah."
Mata Amar bersinar-sinar. "Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah."
Putera Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Sampai di bukit Uhud dia menghadap Rasulullah Saw dan memperkenalkan diri.
"Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur."
Rasulullah Saw dengan terharu memeluk anak muda itu, "Engkau adalah pemuda Islam sejati, Amar. Allah memberkatimu ...."
Hari itu pertempuran berlangsung sengit. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Amar pun syahid menyusul sang ayah. Rasulullah pun mengutus seseorang untuk mengabarkan kepada ibunya, Nusaibah.
Nusaibah termangu-mangu menunggu berita yang akan disampaikan orang yang mendatanginya.
"Ada kabar apakah gerangan?" serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, "Apakah anakku gugur?"
Utusan itu menunduk sedih, "Betul ...."
"Inna lillah ...." Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis.
"Kau berduka, ya Ummu Amar?"
Nusaibah menggeleng kecil. "Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak."
Mendengar itu, Saad yang sedang berada tepat di samping ibunya, menyela, "Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putera seorang ayah yang gagah berani."
Nusaibah terperanjat. Ia memandang puteranya. "Kau tidak takut, nak?"
Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng, yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan itu.
Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, "Allahu Akbar!"
Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.
Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu tengkuknya.
"Hai utusan," ujarnya, "Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang."
Sang utusan mengerutkan keningnya. "Tapi engkau seorang wanita."
Nusaibah tersinggung, "Engkau meremehkan aku karena aku wanita? Apakah wanita tidak ingin pula masuk ke surga melalui jihad?"
Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah Saw dengan mengendarai kuda yang ada.
Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, beliau pun berkata dengan senyum.
"Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita mengangkat senjata. Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang terluka. Pahalanya sama dengan yang bertempur."
Mendengar penjelasan Rasulullah demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.
Dirawatnya mereka yang mengalami luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba rambutnya terkena percikan darah. Nusaibah lalu memandang. Ternyata kepala seorang tentara Islam tergolek, tewas terbabat oleh senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini.
Apalagi ketika dilihatnya Rasulullah terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi, menyaksikan hal itu.
Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang dari prajurit yang tewas itu.
Dinaiki kudanya. Lantas bagaikan singa betina, ia mengamuk.
Tanpa rasa takut Nusaibah menceburkan diri ke tengan arena pertempuran.. Puluhan nyawa orang kafir pun tumbang terkena sabetan pedangnya.
Hingga pada suatu saat, seorang pasukan Quraisy mengendap dari arah belakang, dan langsung menebas putus lengan kirinya. Nusaibah pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda. Peperangan terus berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah teronggok sendirian.
Sampai kemudian, Ibnu Mas'ud yang menunggang kudanya, memeriksa kalau-kalau ada pasukan Muslim yang perlu pertolongan, melihat ada tubuh yang bergerak-gerak dengan susah payah, dia segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu.
Akhirnya Ibnu Mas'ud mengenalinya, "Isteri Said-kah engkau?"
Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, "Bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah baginda?"
"Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apapun ...."
"Engkau Ibnu Mas'ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku."
"Engkau masih terluka parah, Nusaibah ...."
"Engkau mau menghalangi aku untuk membela Rasulullah?"
Terpaksa Ibnu Mas'ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke medan pertempuran. Banyak musuh yang ditumbangkannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.
Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak cerah dan terang benderang.
Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya,
"Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa."
TSM, 01/05/2121
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H