"Betul, ya Ummul Mu'minin. Kabar itu bahkan menjadi pembicaraan orang setiap hari."
Seketika bergejolak hati Aisyah mendengarnya. Rasa sedih, marah, malu bercampur, bergelora dalam dirinya. Sakit Aisyah yang dialami sejak kepulangannya menjadi semakin parah. Dalam keadaan sakit yang bertambah parah, Aisyah hanya bisa menangis sepanjang hari. Semakin membenamkan diri dalam selimut kesedihan. Semakin menambah enggannya untuk keluar rumah.
Sebenarnya sejak beberapa hari dari kepulangannya, Aisyah memang sudah merasakan sesuatu yang aneh, terutama dari sikap Rasulullah, suaminya. Aisyah tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah ketika menemuinya, tidak seperti biasa. Beberapa kali Rasulullah menemuinya hanya mengatakan, 'Bagaimana kabarmu?' tidak lebih. Itu pun dengan roman muka yang dingin. Padahal, jangankan sedang sakit, kalau Rasulullah berkunjung ke rumah Aisyah, Rasulullah menemuinya dengan wajah ceria, selalu keluar pujian akan kecantikan wajah Aisyah, seperti 'ya humaira'. Tidak jarang Rasulullah mengajaknya bercanda, seperti mengajaknya balap lari.
"Aku telah merasakan kecuriagaan saat aku sakit, aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah yang biasa kuterima saat aku sakit." Demikian curhat Aisyah kepada Ummu Misthah. "Ini membuatku curiga. Rupanya berita itulah penyebabnya."
Di tempat lain, semenjak tuduhan terhadap Aisyah tersiar, kegalauan melanda Rasulullah SAW. Beliau pun merasa enggan untuk menemui Aisyah. Hanya sesekali beliau menemui Aisyah. Dan sudah sebulan lamanya wahyu tentang peristiwa yang menimpa istrinya itu tidak kunjung turun. Karenanya Rasulullah pun bimbang dalam mengambil keputusan untuk masalah ini. Apakah harus mempercayai kabar yang beredar atau tidak. Kalau kabar itu benar, haruskah dia menceraikan Aisyah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H