"Urang nu katilu," timpal anak yang satunya.
Kedua anak itu mengumumkan jatah memperoleh anak burung. Anak burung yang mana untuk mereka.
Saya kebetulan yang badannya paling kecil, diam saja. Saya tahu diri. Bagian saya adalah yang paling kecil, atau anak burung yang keenam.
Burung yang mereka ambil adalah burung pipit. Burung pipit bertelur biasanya antara 5 sampai 7 butir. Jarang yang kurang dari 5 butir, begitupun jarang lebih dari 7 butir.
Saat menetas, anak-anak burung pipit tersebut tidak sama besar. Karena mungkin menetasnya satu-satu, tidak berbarengan. Sehingga berbeda ukuran. Jadi seperti urutan anam manusia. Ada yang sulung, lalu anak kedua, ketiga, dan seterusnya sampai yang paling kecil.
Sudah menjadi aturan tak tertulis dalam 'operasi pencarian anak burung'. Masing-masing mendapatkan urutan anak burung sesuai usia atau besar tubuh atau tinggi badan mereka. Kecuali untuk anak burung yang paling besar (pertama), itu jatahnya anak yang mau naik pohon dan mengambil sarang burung.
Entah sejak kapan aturan itu mereka terapkan. Tetapi semua menerima. Belum pernah kejadian ada anak yang protes karena mendapat anak burung yang kecil. Semua menyadari masing-masing. Masing-masing menerima bagiannya dengan bahagia.
***
Saya tahu, karena sering pulang kampung, 'tradisi' mencari sarang burung itu sudah lama hilang. Anak-anak sekarang lebih betah tinggal di rumah.
Â
Saya jadi mengkhayal. Kalau saja keluguan berpikir bocah-bocah kampung itu juga dimiliki oleh manusia-manusia sekarang, kesemrawutan hidup yang terjadi sekarang ini mungkin tidak pernah ada. Karena masing-masing tahu diri, masing-masing sadar akan haknya, dan masing-masing menghormati hak orang lain.