Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan yang ingin terus menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menuliskan apa saja yang bermanfaat, untuk sendiri, semoga juga untuk yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pembagian Burung Pipit

30 Januari 2021   21:32 Diperbarui: 30 Januari 2021   21:33 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah apa yang merasukiku, semerta teringat pengalaman 40 tahun yang lalu. Barangkali karena muak dengan berbagai berita yang diwartakan media. Berita-berita yang seolah mengabarkan bahwa norma telah lenyap dalam kehidupan ini.

Memori 40 tahun yang lalu pun kemudian berputar di dalam kepalaku.

***

Siang menjelang puncaknya saat lima bocah ingusan sama-sama menengadahkan kepalanya ke atas pohon. Sama-sama melihat seorang teman mereka yang sedang naik untuk mengambil sarang burung.

Mata mereka berbinar, mulut sama-sama tersenyum saat teman yang naik terlihat turun dengan tangan kanan memegang sarang burung.

"Ayaan euy?" celetuk salah seorang di antara mereka.

"Aya genep!" jawab yang ditanya sambil turun.

"Horreeeee ...." Serentak semua anak bersorak.

Begitu sampai di bawah, langsung semua anak mengerubutinya dan melihat isi sarang burung. Enam anak burung di dalamnya tentu berciap-ciap ketakutan.

"Urang nu kadua," kata anak yang paling tinggi.

"Urang nu katilu," timpal anak yang satunya.

Kedua anak itu mengumumkan jatah memperoleh anak burung. Anak burung yang mana untuk mereka.

Saya kebetulan yang badannya paling kecil, diam saja. Saya tahu diri. Bagian saya adalah yang paling kecil, atau anak burung yang keenam.

Burung yang mereka ambil adalah burung pipit. Burung pipit bertelur biasanya antara 5 sampai 7 butir. Jarang yang kurang dari 5 butir, begitupun jarang lebih dari 7 butir.

Saat menetas, anak-anak burung pipit tersebut tidak sama besar. Karena mungkin menetasnya satu-satu, tidak berbarengan. Sehingga berbeda ukuran. Jadi seperti urutan anam manusia. Ada yang sulung, lalu anak kedua, ketiga, dan seterusnya sampai yang paling kecil.

Sudah menjadi aturan tak tertulis dalam 'operasi pencarian anak burung'. Masing-masing mendapatkan urutan anak burung sesuai usia atau besar tubuh atau tinggi badan mereka. Kecuali untuk anak burung yang paling besar (pertama), itu jatahnya anak yang mau naik pohon dan mengambil sarang burung.

Entah sejak kapan aturan itu mereka terapkan. Tetapi semua menerima. Belum pernah kejadian ada anak yang protes karena mendapat anak burung yang kecil. Semua menyadari masing-masing. Masing-masing menerima bagiannya dengan bahagia.

***

Saya tahu, karena sering pulang kampung, 'tradisi' mencari sarang burung itu sudah lama hilang. Anak-anak sekarang lebih betah tinggal di rumah.

 

Saya jadi mengkhayal. Kalau saja keluguan berpikir bocah-bocah kampung itu juga dimiliki oleh manusia-manusia sekarang, kesemrawutan hidup yang terjadi sekarang ini mungkin tidak pernah ada. Karena masing-masing tahu diri, masing-masing sadar akan haknya, dan masing-masing menghormati hak orang lain.

Karena pangkal masalah antar manusia sekarang ini, di bidang apa pun, adalah karena salahnya menempatkan hak dan kewajiban. Lebih sering tertukar. Kewajiban dianggap hak atau sebaliknya, hak dianggap kewajiban.

*bahasa Sunda

Ayaan euy? = Ada isinya?

Aya genep = Ada enam

Urang nu kadua = saya yang kedua

Urang nu katilu = saya yang ketiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun