"Ya. Pembunuhan berantai sangat jarang terjadi. Bahkan selama aku meliput kasus pembunuhan, perasaan belum pernah terjadi." Toni terlihat bersemangat menjelaskannya. "Pembaca harus menikmati cerita yang berbeda. Yang lain daripada yang lain."
"Lalu, riset apa yang kamu kerjakan, sampai harus jauh ke sini?" tanyaku memotong penjelasannya.
Toni terbatuk-batuk, terlihat gugup lagi. Tak menyangka kupotong dengan pertanyaan itu. Aku pun merasa aneh dengan perubahan sikapnya yang mendadak itu. Tapi keanehanku terganggu saat telepon berdering.
Aku pun bangkit, setelah memberi kode pada Toni untuk minta izin untuk menerima telepon. Aku hampiri gagang telepon di atas kulkas. Rupanya dari kantor, mengkonfirmasi beberapa pekerjaan tadi siang.
Aku kembali menghampiri Toni. Dia sedang menutup tas tangannya saat aku duduk kembali. Dia pun sudah tidak terlihat gugup lagi.
"Pertanyaanku belum dijawab ya? Jadi, riset apa?" tanyaku Kembali.
"Yaa ... riset yang bisa mendukung jalan ceritaku," Toni mengambil gelas dan meminumnya. Aku pun turut mengambil gelasku dan minum.
Lalu lanjutnya, setelah meletakkan gelasnya, "Supaya aku sebagai penulis bisa lebih menjiwai."
"Maksudmu?" Aku belum mengerti maksud dari riset yang dia jelaskan.
Toni tidak menjawab, dia malah minum lagi. Aku pun jadi terbawa, kuminum lagi minumanku. Namun, setelah tegukan ketiga kepalaku pusing. Pandanganku kabur. Toni terlihat senyum, lebih tepat menyeringai, saat semakin kabur bayangan wajahnya di mataku. Sampai kemudian semua gelap.
~Urip Widodo~