Suara lonceng dari delman itu makin nyaring terdengar. Suaranya khas, berirama, seolah keempat lonceng yang nempel di tiang delman berbunyi bergantian, membentuk harmoni yang kontras dengan suasana hutan yang sunyi. Keheningan malam menambah kencang terdengar suaranya oleh mereka.
"Tuh kan, apa ku bilang, itu emang delman, aku tahu sorot lampunya. Sudah kita berhenti, kita tunggu saja," ujar Andi.
"Syukurlah ...," Iwan makin cerah wajahnya.
Dan delman itu makin lama makin terlihat bentuknya, tidak hanya terlihat sorot lampunya yang juga khas, dan suara loncengnya yang makin kencang.
Semakin dekat semakin jelas.
"Ada penumpangnya Ndi," kata Kelik, "seorang."
"Berarti pas, delman muat penumpangnya enam orang, tujuh sama saisnya."
"Oalah ... beruntungnya kita, ga jadi jalan empat kilo."
Delman semakin dekat. Wajah sais nya semakin tampak.
"Lho! Itu kan mang Dule?!" Andi memperhatikan sais yang membawa delman, sampai memanjangkan leher ke arah delman mendekat.
"Kau kenal Ndi?" tanya Kelik.