Â
Oleh: Urip Triyono, SS, MM.Pd.*)
Pengantar
Bangsa Jawa tidak pernah kehabisan ide dalam memberikan inspirasi bagi sesama dalam rangka mewujudkan dunia yang tentram, damai, dan berkeadilan. Dalam pepatah dan moralitas Jawa gerakan untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat keserakahan, kesewenangan, dan ketidakadilan dikenal dengan istilah Memayu Rahayuning Buwana, "merawat dan menjaga keselamatan dunia'.
Konsep merawat dan menjaga dunia dari kehancuran akibat ulah tangan-tangan jahil dan perilaku amoral dituangkan oleh para pujangga dalam karya-karya sastra yang adiluhung, yang bernilai sastra dan mengandung muatan moral tinggi, menebarkan benih-benih keselamatan bagi seluruh penghuni alam raya ini melalui untaian kata-kata mutiara yang tersusun indah.
Piwulang
Khasanah kesastraan Jawa mengandung kearifan lokal yang tiada pernah habis untuk digali  nilai-nilainya bagi kemaslahatan bersama. Karya sastra Jawa yang bernuansa pendidikan (edukatif) tersebar pada puluhan bahkan ratusan karya sastra hasil pemikiran para local genius tanah Jawa. Dari tembok istana sejak zaman Jawa Kuna era Darmawangsa dari Kerajaan Medang (991--1007) hingga kerajaan Pasca Mataram (1755-1757), yakni Kasunanan-Mangkunegaran, dan Kasultanan-Pakualaman telah dihasilkan banyak karya sastra yang indah dan elok, bukan saja karena nilai kesastraannya yang tinggi, melainkan juga memiliki ajaran moral yang sungguh memikat dan membanggakan bagi generasi penerus.
Disamping karya sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya yang muncul sekitar abad ke-15. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang kesastraan Jawa.
Pandangan masyarakat telah bergeser dalam hal mengindentifikasi diri pribadi. Pribadi bukan lagi sebagai elemen jagad gedhe, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai jagad cilik. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab di atas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri (diri pribadi). Korelasi jagat cilik (pribadi) dan jagat agung (masyarakat) adalah jagad cilik menyusun jagat agung, semakin jagat cilik terdidik dan terpelihara dengan baik, maka susunan jagat agung akan aman, tentram, dan damai. Sebaliknya, pribadi yang merusak, akan merusak pula tatatan jagat agung (masyarakat), pribadi yang merusak akan menghancurkan tata aturan dalam bermasyarakat.
Begitu pengaruh Islam masuk sekitar abad ke14, muncullah kesastraan suluk, yaitu kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya, seperti Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, dan lain-lain. Pengaruh Hindu Jawa terdesak oleh arus pemikiran baru yang berlandaskan Islam yang lebih universal demokratis.
Faham Islam sufistik seperti pantheisme (semua adalah wajah Tuhan), dan monisme (wajah Tuhan menjadi satu) berjalan beriringan dalam materi pembelajaran suluk. Sehingga dalam mempelajari kesastraan Suluk kita akan dipahamkan dengan konsep Manunggaling Kawula-Gusti 'bersatunya hamba dengan Tu(h)annya', atau Jumbuhing Kawula-Gusti, yaitu konsep mengenai bersatunya visi, misi, dan tujuan dua atau lebih pihak yang berada dalam ikatan jagat alit dan jagat agung, keselarasan antara pribadi dan masyarakat.