Agak syok melihat kenyataan para wakil rakyat terpilih saat paripurna pelantikan Rabu 4 September 2024 sebagian malah mengantuk dan tertidur alias si tukang pendengkur.Â
Ah!, mungkin mereka kelelahan dan lunglai usai berfikir memeras otak untuk kesejahteraan masyarakat.
Tapi masa iyah, se cape itu kah?, berat sekali tampaknya yah menjadi wakil rakyat, sampai harus menjadi pendengkur saat pelantikan dirinya. Belum kerja padahal kan?.
Atau sebenarnya, mereka lelah dan menjadi pendengkur karena menerima tamu undangan semalaman suntuk sebelum pelantikan, karena sanak saudara dan kolega datang dari negeri nun jauh mungkin.
Aduh, lantas bisa berharap apa masyarakat kota baja kalau para anggota dewannya asik tidur saat rapat.
Rasa-rasanya, warga harus cemas dan was-was dengan kelakuan para anggota dewannya yang sudah dipilih di Pemilu 2024 lalu.
Terlebih masyarakat yang menggantungkan nasibnya dan berharap arah lebih baik dalam kebijakan di legislatif.
Maklum saja, fungsi legislatif ini adalah kontrol terhadap kebijakan eksekutif dalam hal ini pemerintah kota. Kalau yang mengawasi saja tidur, lantas apa warning dan bordernya jika kebijakan itu salah.
Ingat bahwa DPRD punya fungsi politik anggaran. Ia bisa melakukan revisi dan bersuara keras jika anggaran yang diperuntukan menyeleweng dari kebutuhan masyarakat.
Dewan juga punya fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintahan, kalau tukang mendengkur yang suruh memberikan kontrol yah apa yang mau diawasi yah?.
Dewan juga punya kebijakan strategis untuk merumuskan aturan berupa Peraturan Daerah yang berpihak kepada masyarakat. Kalau kerjaannya hanya datang absen dan numpang tidur sepertinya warga harus sudah mulai cemas dengan hasilnya.
Pertanyaan selanjutnya, masihkah masyarakat menggantungkan harapannya kepada sang dewan. Tentu jawabannya tidak.
Warga sudah sangat pesimis dengan kondisi wakil rakyatnya yang cuma bisa omong besar tapi mendengkur saat rapat.
Bahkan, secara empiris hal itu terang tergambar saat penulis melakukan wawancara kepada sejumlah masyarakat dengan penghasilan rendah, seperti tukang badut jalanan, tukang becak, ojek pangkalan dan online.
Dari semuanya, hampir tidak ada lagi harapan yang ingin disampaikan kepada sang dewan pendengkur.
Mereka hanya bisa berharap agar dewan tidak membuat aturan yang aneh-aneh dan malah membuat kehidupan semakin sulit.
Kalau untuk perubahan meningkatkan penghasilan, nampaknya itu hanya jadi isapan jempol belaka.
"Kalau sudah jadi mana ingat sama masyarakat. Kemarin abis pemilu saja tidak pernah lagi nengok," kata Mr A salah satu tukang becak yang setiap harinya mangkal di SMP Al Had1d.
Mr A yang sudah berusia 65 tahun, secara tegas mengatakan tidak bisa berharap dan mendapatkan apa-apa dari para dewan yang dilantik.
"Mereka juga kan usaha (membalikan modal politik). Mana mungkin mikirin kita lagi," tegasnya lantang.
Lain hal Si C, tukang ojek pangkalan di Propelat, Kelurahan Kot4bum1, Kecamatan Purw4karta. Menurutnya, sudah tidak percaya dengan para dewan, hanya bisa bicara manis saat pencalonan. Sesudahnya, pasti masyarakat tidak akan dianggap.
"Kayane meh ore bisa diandalaken kang. Siki bae gati ditomonane. Komoh dijaluk tulung (Sepertinya tidak bisa diandalkan. Sekarang saja susah ditemuinnya. Apalagi diminta tolong)," ucapnya.
Sekedar mengingatkan yah pak dan ibu dewan terhormat, kan sekarang sudah menikmati gaji dan tunjangan yang dibayarkan dari perasan keringat masyarakat lewat kewajiban beban pajak.
Angkanya, tentu cukup fantastis mulai dari Rp35 juta hingga Rp40 juta per orang digelontorkan untuk para wakil rakyat pendengkur yang terhormat.
Jadi seharusnya, tugas dan fungsinya bisa dijalankan dengan sangat maksimal. Tidur boleh-boleh saja, tapi di rumah jangan saat bapak dan ibu bekerja duduk di kursi empuk nan mewah dari keringat rakyat.
Tentu saja menjadi catatan kritis bagi para wakil rakyat yang sudah disumpah di atas Al Quran dan demi Allah.
Hanya mengingatkan ini yang sudah diucapkan bapak dan ibu sekalian kan:
Demi Allah saya bersumpah.
Demi Tuhan Saya berjanji.
Bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPRD Kota Ci*** dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya susuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berpedoamn pada Pancasaila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Bahwa saya, dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi seseorang dan golongan.
Bahwa saya, akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumpah tersebut semoga saja menjadi sumpah yang tidak hanya terucap dari lisan saja. Namun, benar-benar ditunjukan dengan kinerja sebagai wakil rakyat yang mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan golongan.Â
Sebenarnya penulis penasaran mereka lelap atau tidak saat menjadi pendengkur, sehingga langsung menanyai salah satu wakil rakyat terhormat.Â
Anehnya, aduhai, ia menjawab benar kolega disekitarnya tertidur. Bahkan, ia menilai kemungkinan para kolega tersebut lapar karena belum sarapan.
Alah mak. Bisa yah lapar tapi nyenyak tidur seolah-olah orang kekenyangan.Â
Bisa jadi, sebanarnya kekenyangan, sehingga lelap tertidur dalam acara sakral pengambilan sumpah jabatan.
Sekali lagi, meski ragu penulis tetap berharap sikap para wakil rakyat menjadi tumbuh dewasa dan menunaikan segala kewajibannya untuk membayar hutang kepada masyarakat yang sudah memilihnya.
Bukan penulis juga sinis terhadap para dewan pendengkur. Tapi ini menjadi catatan kritis bagi semuanya agar marwah lembaga negara yang terhormat kembali berwibawa dan menghasilkan gagasan untuk kesejahteraan masyarakat. ***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H