Mohon tunggu...
Ayhie Bocah Wingi
Ayhie Bocah Wingi Mohon Tunggu... Penulis - Uri Masyhuri

Penulis di Harian Umum di Banten

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menua di Ujung Gerbang Pulau Jawa, Miskin karena Para Koruptor (Bagian - 1)

24 Juni 2022   21:13 Diperbarui: 24 Juni 2022   21:14 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembari menimpali umpatan bapaknya Ahmad tetiba angkat bicara.

"Apa di kota kita ini masih ada pejabat jujur Pak. Tidak menyengsarakan kita. Tidak jadi maling seperti pimpinan kita yang sudah dijerat di dalam jeruji," ucapnya bertanya.

Pertanyaan anaknya itu sontak mengagetkan Mad Rais. Sambil mengkerutkan keningnya pertanda bingung dan bertanya dalam hatinya masih ada atau tidak pejabat jujur seperti kata anaknya itu.

"Susah jawabnya Mad. Korupsi atau tidak tergantung hatinya. Dia masih takut atau tidak juga sama hukuman Allah. Tapi kadang karena keserakahan juga membuat para pemimpin berkuasa lupa daratan. Sudah tahu bukan haknya tatap saja diembat Mad," jawabnya seadanya menggambarkan kondisi sembari tetap pikiran dipenuhi kebingunan menjawab masih ada atau tidak pejabat jujur.

Lalu Ahmad meninpali sinis jawaban ayahnya itu, jika para maling uang rakyat masih dihukum ringan, sepertinya sulit juga untuk tidak tergiur jadi maling.

"Kalau hukumnya ringan masih banyak pejabat yang jadi maling Pak. Kecuali hukukannya berat dan dimiskinkan kayak kita, baru pada kapok yah Pak. Semua hartanya diambil dan dibagikan sama kita," cetusnya menyindir dalam.

Obrolan Mad Rais dan cucunya Ahmad menjadi gambaran realitas masyarakat Ujung Gerbang Pulau Jawa.

Tentu saja itu menjadi cambuk bagi kondisi masyarakat Ujung Gerbang Pulau Jawa. Masih ada yang warga miskin tapi uang negara di korupsi, masih banyak warga susah hidup tapi dimaling uangnya.

Tapi merenungi kondisi saja tidak cukup bagi keduanya, Mad Rais dan Ahman dua manusia yang tetap mampu berusaha untuk mengais rezeki secara halal, meski pas - pasan, tapi harga dirinya tidak dilacurkan di meja kekayaan, pikirannya tidak rendah seperti pikiran binatang.

Setiap hari, keduanya mengais rezeki di dermaga Pelabuhan Ujung Gerbang Pulau Jawa. Dimana terik matahari jadi pembakar kulit, keringat jadi parfum alami rakyat jelata, dan kerasnya hidup jadi takdir yang selalu ditaklukan.

"Ah sudah lah Mad, ayo kita ke pelabuhan mumpung masih pagi. Dari pada kita terus-terusan mengumpat para pejabat maling, lebih baik kita jualan kopi mencari rezeki, biar kita ga jadi maling," ajak Mad Rais pada anaknya Ahmad untuk bergegas setelah selesai menikmati teh pergi ke pelabuhan untuk mengais rezeki dengan berjualan kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun