Mohon tunggu...
Uray Arulsyah Muhammad
Uray Arulsyah Muhammad Mohon Tunggu... Jurnalis - Buruh Penulis Konten

Sedikit paham dan sedikit berpengalaman dalam dunia jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Menelaah Imajinasi George Orwell (1984) dan Aldous Huxley (Brave New World)

13 April 2023   08:32 Diperbarui: 13 April 2023   08:36 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku 1984 oleh George Orwell dan Brave New World oleh Aldous Huxley bisa dibilang sebagai buku terpopuler sepanjang abad 20. Dua buku ini melahirkan distopia yang kejam sekaligus sihir dalam membedah, meramu, dan menerawang peradaban fiksi yang terdengar relevan.

1984 oleh George Orwell mengangkat konsep bagaimana peradaban telah dirusak oleh perang, konflik sipil, hingga revolusi. Serta bagaimana pemerintahan totaliter bergerak, namun hal ini berdasarkan perspektif atau gambaran berbeda yang dikemas oleh George Orwell. Perspektif itu digambarkan dengan kejamnya pemerintahan otoriter yang mengendalikan masyarakatnya lewat teknologi surveillance yang canggih, berbagai propaganda, memanipulasi bahasa atau mendoktrinisasi masyarakat, hingga mengakar ke teknologi.

Sedangkan pada buku yang ditulis pada tahun 1931 dan diterbitkan pada tahun 1932, Brave New World oleh Aldous Huxley, ia mengangkat bagaimana kecanggihan sains teknologi terus berkembang dan bekerja. Nilai-nilai masyarakat yang timbul mengharapkan kebebasan, serta bagaimana kebebasan dan kesejahteraan itu berproses.

George Orwell di 1984 memberikan gambaran bagaimana sebuah sistem masyarakat secara luas yang mendapatkan distorsi informasi hanya dari pemerintah. Selain itu, ia pun memberi sinyal dan menyebar ketakutan jika di masa depan sebuah sistem komunikasi dan informasi dirampas termanipulasi oleh pemerintah.

Untuk membuatnya terdengar relevan, membicarakan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sepertinya bentuk yang tepat. UU ITE dibentuk untuk mengamankan transaksi dan komunikasi di dalam jaringan, agar tak terjadi kejahatan ataupun tindak kriminal. Namun seiring berjalannya waktu hal ini melenceng jauh dari hierarkinya, kini masyarakat semakin dikekang atas obrolannya. Semua elemen masyarakat tak bebas berbicara, berdebat, bahkan mengkritik seenaknya jika tak ingin ditembak mati oleh UU ITE ini.

Padahal jika menarik lebih jauh mencermin 1984, manusia tercipta sebagai makhluk yang berkuasa di dunia berkat sebuah imajinasi. Setiap perdebatan, kritikan, atau bentuk komunikasi apapun merupakan peristiwa yang wajar, karena itu terjadi atas hak yang berkesinambung dengan imajinasi dan seharusnya tak seorang pun yang bisa menghalangi melainkan mara bahaya. Berbeda dengan Brave New World oleh Aldous Huxley, ia menggambarkan informasi yang bebas tanpa batas. Dalam kondisi apapun, ia menggambarkan diri manusia yang hakikatnya akan menjadi egois atas bebasnya komunikasi dan informasi.

Kembali ke 1984-nya George Orwell, narasi yang dibangun dalam keseluruhan cerita sebenarnya sedikit menggelitikan. Pasalnya ia sering kali menyatukan hal-hal yang saling bertentangan, misalnya pengetahuan dengan kebodohan, sinisme dengan fanatisme, dan beberapa lainnya. Bahkan ia menuliskan empat kementerian pun seperti lekat dengan kontradiksi, layaknya Ministries of Peace (kementerian Perdamaian) dengan tugas utamanya yaitu berperang, Ministries of Truth (Kementerian Kebenaran) dengan tugas utamanya yaitu memutar balikkan fakta atau menutupi kebenaran, lalu Ministries of Love (Kementerian Cinta Kasih) yaitu didalamnya terdapat sebuah tempat atau camp untuk manusia-manusia yang bertentangan, serta yang terakhir Ministries of Plenty (Kementerian Tumpah Ruah) dengan tugas utamanya mengadakan paceklik dan membuat semua masyarakat kelaparan.

Berbagai kontradiksi yang ditumpahkan George Orwell, dijelaskan sebagai penerapan untuk berpikir dua kali. Merubah daya pola pikir dan saat bersamaan memuat dua keyakinan yang bertentangan, tetapi harus menerima keduanya. Hal ini tentunya tak terlepas dengan apa yang digambarkan olehnya seputar prinsip partai, dengan adanya kontradiksi lah kekuasaan yang dipegang oleh partai dapat bertahan lama dipertahankan dan tidak terbatas.

Buku ini pun seolah menggambarkan bahwa di masa yang akan datang kehidupan masyarakat akan diatur sedemikian rupa oleh kekuasaan. Tujuannya agar dunia semakin membentuk tatanan masyarakat yang ideal dan baik menurut kekuasaan. Namun serupa apa yang terjadi saat ini, pasti ada suatu kelompok masyarakat kecil yang menolak semua itu, menentang, dan mencari kebebasan.

Kedua buku ini membangun narasi sosok penguasa yang berusaha untuk mempertahankan kekuasaan rezimnya dengan cara masing-masing, yakni otoriter dan totaliter. Semua masyarakat dituntut dan diharuskan untuk patuh terhadap penguasa, patuh dengan semua perintah rezim agar dunia yang direncanakan tetap sesuai rencana tanpa pemberontakan. Para penguasa pun membuat cara dan aturan untuk membatasi ruang gerak, ruang bicara, dan ruang kebebasan agar masyarakat tak berkutik terkekang pergerakannya. Mendoktrin pikiran dan menyuap narasi-narasi yang telah terkonsep ke masyarakat kian dilakukan sebagai propaganda agar pemberontakan tidak pernah terjadi dan stabilitas keamanan terjaga.

Cara dahsyat yang digunakan untuk mendoktrin masyarakat dalam dua buku ini adalah mengendalikan komunikasi dan informasi, serta cara yang paling dekat menekan langsung dengan mengendalikan bahasa. Hal ini sejalan dengan buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru oleh Daniel Dhakidae yang menjelaskan bahwa, bahasa dapat digunakan sebagai alat kekuasaan, dengan membawa tiga prinsip yaitu akronim, eufimisme, dan disfemisme.

Melihat praktek doktrin penguasa kepada masyarakat, pola ini sebenarnya memang telah terjadi dimana kuatnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Dilansir dari Tirto.id, dalam hal berbahasa Sunda, bahasa ini mengenal undak usuk basa, atau tingkatan berbahasa, serta tata krama berbahasa. Hal-hal yang diatur dalam cara berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan usia, pangkat, jabatan, garis keturunan, dan yang lainnya. Undak usuk basa adalah hasil interaksi kebudayaan dimana dalam banyak ruang berlangsung dengan tidak seimbang. Dikatakan tidak seimbang, karena dahulu kala melibatkan proses kekuasaan politik antara Mataram Islam dan Kolonialisme Belanda.

Hierarki bahasa ini kembali ditegaskan secara konkrit. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi sosial, kini pelan-pelan mulai mengenal tingkatan yakni halus, sedang, dan kasar. Hal ini menjadi kisah keberlanjutan bahasa yang sudah lebih dulu dipraktekkan pada pusat kekuasaan Mataram di Jawa. Contohnya kata “aing”, kata ini kini dikenal sebagai kata teramat kasar, padahal awalnya merupakan bahasa yang biasa saja dengan mencerminkan tidak adanya stratifikasi sosial. Sama hal nya dengan kata “sia” ataupun “maneh” dalam berbahasa Sunda.

Dalam konteks akronim, eufimisme, dan disfemisme yang dijelaskan Daniel Dhakidae dalam buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, bahwa akronim yang diartikan itu merupakan kata-kata yang dimanipulasi atau kata-kata yang digabungkan dengan tujuan jauh dari kebenaran atau dijauhkan dari makna sesungguhnya. Sedangkan eufimisme merupakan perubahan bahasa ungkapan, ungkapan yang dahulunya dianggap kasar oleh pemerintah, akan diubah dan diganti menjadi ungkapan yang halus atau layak untuk digunakan. Lalu disfemisme ialah kata atau ungkapan yang dianggap halus diganti menjadi sebuah ungkapan yang kasar, atau bisa dibilang kebalikan dari eufimisme. Berdasarkan hal ini, hierarki bahasa Sunda sesungguhnya praktek dari prinsip-prinsip bahasa tersebut.

Kembali ke George Orwell dan Aldous Huxley, kedua buku ini memiliki perbedaan, pada 1984 para penguasa menekan atau mengontrol masyarakat untuk takut pada pemerintah. Sedangkan pada buku Brave New World, masyarakat didoktrinisasi dan dikekang oleh pemerintah melalui rasa hormat dan berdedikasi menumbuhkan kebahagiaan dalam kehidupan rakyatnya.

Dengan upaya mempertahankan pemerintahan, kedua buku ini menggambarkan bagaimana ajaibnya propaganda di tangan pemerintah, seperti kata “war is peace, freedom is slavery, ignorance is strength”. Kalimat tersebut cukup kental sebagai propaganda dan selalu hadir dalam 1984. Pemerintah menggunakan media massa untuk memanipulasi setiap pandangan, kebenaran, dan sejarah dari rakyat. Sedangkan dalam buku Brave New World, segala jenis propaganda dihadirkan melalui bentuk lagu-lagu kebahagiaan dan simbol-simbol perbedaan antar kelas sosial. George Orwell dan Aldous Huxley mengisyaratkan bahwa segala pemikiran masyarakat akan dikonstruksi oleh pemerintah, selain itu terdapat juga sesuatu yang bernama hypnopedia, yaitu pemberian nilai-nilai kepada masyarakat ketika sedang lengah dan saat itu juga dimasukkan semua pemahaman oleh pemerintah untuk membentuk pola pikir sesuai dengan keinginan pemerintah.

Selain propaganda, buku-buku ini menggambarakan pula bagaimana kekuatan ekonomi politik komunikasi bekerja didalamnya. Vincent Mosco mendefinisikan ekonomi politik komunikasi dalam bukunya yang berjudul The Political Economy of Communication, bahwa ekonomi politik komunikasi itu sebagai kajian relasi sosial, terutama relasi kekuasaan yang mengkonstitusi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya secara mutual. Proses ekonomi politik komunikasi terlihat pada bagaimana sebuah kekuasaan dioperasikan hingga mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh media massa, serta perilaku konsumen memengaruhi konten dalam media massa.

George Orwell dan Aldous Huxley dalam 1984 dan Brave New World secara cermat mengisyaratkan bagaimana pemerintahan yang terlalu kuat, dan menafsirkan bagaimana pemerintah mengontrol masyarakatnya secara sadar maupun tidak sadar, baik dengan kenikmatan dunia seperti apa yang dijelaskan oleh Aldous Huxley ataupun melalui propaganda serta censorship seperti apa yang dijelaskan oleh George Orwell. Keduanya menjadi tanda peringatan atas apa yang terjadi saat ini, dan sebagian besar hal-hal yang relevan.

Sebagian besar hal-hal yang relevan? Contoh saja ketika Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat saat itu dengan segala kebohongan yang disampaikan pada saat kampanyenya. Hal ini justru menjadi sebuah fakta apa yang disampai oleh Donald Trump, sama halnya pada buku 1984 yang menyebutkan bahwa apa yang disebutkan pemimpin adalah sebuah fakta dan kebanaran, walupun sesungguhnya itu kesalahan nalar.

Apa yang telah terjadi di dunia saat ini, sebenarnya telah magis diterawang imajinasi George Orwell dan Aldous Huxley. Kenikmatan masyarakat Indonesia dengan internet, media sosial, media daring, kebebasan media massa atau apapun itu yang seolah terhipnotis bahwa semua kenikmatan itu bentuk pengawasan dari penguasa. Aldous Huxley dalam Brave New World selalu mengulang-ulang fenomena ini.

Bentuk lainnya, di negara China saat ini sedang menggunakan sistem censorship. Censorship yang diusung Partai Komunis Tiongkok (PKT) merupakan salah satu rezim sensor terketat di dunia. Tujuan dari censorship ini sebagian besar berlandaskan politik, seperti membatasi gerakan oposisi dan menahan setiap peristiwa yang tidak menguntungkan PKT. Xi Jinping menjadi tokoh besar dibalik penyensoran ini, sejak 2012 menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKT (pemimpin tertinggi de facto) penyensoran meningkat secara signifikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengawasi seluruh ruang gerak masyarakat agar memiliki kehidupan yang ideal. Fenomena ini pun selalu menjadi peringatan George Orwell dalam 1984-nya.

Pada akhirnya, George Orwell dalam 1984 membangun narasi dengan merasa takut bahwa kebenaran akan dihilangkan di tengah masyarakat, sedangkan Aldous Huxley dalam Brave New World membangun narasi dengan merasa takut kebenaran akan tenggelam dalam dunia yang seharusnya tidak relevan. Singkatnya George Orwell takut bahwa ketakutan akan menghancurkan peradaban, sementara Aldous Huxley takut bahwa keinginan akan menghancurkan peradaban.

Referensi

  • Dhakidae, Daniel. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Huxley, Aldous. 2015. Brave New World. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
  • Orwell, George. 2016. 1984. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
  • Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication, Second Edition. London: SAGE Publications.
  • Tirto.id. RS, Zen. 2017. Membebaskan “Aing” dari Belenggu Hierarki Bahasa Sunda.

< https://tirto.id/membebaskan-aing-dari-belenggu-hierarki-bahasa-sunda-cn5j>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun