Buku 1984 oleh George Orwell dan Brave New World oleh Aldous Huxley bisa dibilang sebagai buku terpopuler sepanjang abad 20. Dua buku ini melahirkan distopia yang kejam sekaligus sihir dalam membedah, meramu, dan menerawang peradaban fiksi yang terdengar relevan.
1984 oleh George Orwell mengangkat konsep bagaimana peradaban telah dirusak oleh perang, konflik sipil, hingga revolusi. Serta bagaimana pemerintahan totaliter bergerak, namun hal ini berdasarkan perspektif atau gambaran berbeda yang dikemas oleh George Orwell. Perspektif itu digambarkan dengan kejamnya pemerintahan otoriter yang mengendalikan masyarakatnya lewat teknologi surveillance yang canggih, berbagai propaganda, memanipulasi bahasa atau mendoktrinisasi masyarakat, hingga mengakar ke teknologi.
Sedangkan pada buku yang ditulis pada tahun 1931 dan diterbitkan pada tahun 1932, Brave New World oleh Aldous Huxley, ia mengangkat bagaimana kecanggihan sains teknologi terus berkembang dan bekerja. Nilai-nilai masyarakat yang timbul mengharapkan kebebasan, serta bagaimana kebebasan dan kesejahteraan itu berproses.
George Orwell di 1984 memberikan gambaran bagaimana sebuah sistem masyarakat secara luas yang mendapatkan distorsi informasi hanya dari pemerintah. Selain itu, ia pun memberi sinyal dan menyebar ketakutan jika di masa depan sebuah sistem komunikasi dan informasi dirampas termanipulasi oleh pemerintah.
Untuk membuatnya terdengar relevan, membicarakan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sepertinya bentuk yang tepat. UU ITE dibentuk untuk mengamankan transaksi dan komunikasi di dalam jaringan, agar tak terjadi kejahatan ataupun tindak kriminal. Namun seiring berjalannya waktu hal ini melenceng jauh dari hierarkinya, kini masyarakat semakin dikekang atas obrolannya. Semua elemen masyarakat tak bebas berbicara, berdebat, bahkan mengkritik seenaknya jika tak ingin ditembak mati oleh UU ITE ini.
Padahal jika menarik lebih jauh mencermin 1984, manusia tercipta sebagai makhluk yang berkuasa di dunia berkat sebuah imajinasi. Setiap perdebatan, kritikan, atau bentuk komunikasi apapun merupakan peristiwa yang wajar, karena itu terjadi atas hak yang berkesinambung dengan imajinasi dan seharusnya tak seorang pun yang bisa menghalangi melainkan mara bahaya. Berbeda dengan Brave New World oleh Aldous Huxley, ia menggambarkan informasi yang bebas tanpa batas. Dalam kondisi apapun, ia menggambarkan diri manusia yang hakikatnya akan menjadi egois atas bebasnya komunikasi dan informasi.
Kembali ke 1984-nya George Orwell, narasi yang dibangun dalam keseluruhan cerita sebenarnya sedikit menggelitikan. Pasalnya ia sering kali menyatukan hal-hal yang saling bertentangan, misalnya pengetahuan dengan kebodohan, sinisme dengan fanatisme, dan beberapa lainnya. Bahkan ia menuliskan empat kementerian pun seperti lekat dengan kontradiksi, layaknya Ministries of Peace (kementerian Perdamaian) dengan tugas utamanya yaitu berperang, Ministries of Truth (Kementerian Kebenaran) dengan tugas utamanya yaitu memutar balikkan fakta atau menutupi kebenaran, lalu Ministries of Love (Kementerian Cinta Kasih) yaitu didalamnya terdapat sebuah tempat atau camp untuk manusia-manusia yang bertentangan, serta yang terakhir Ministries of Plenty (Kementerian Tumpah Ruah) dengan tugas utamanya mengadakan paceklik dan membuat semua masyarakat kelaparan.
Berbagai kontradiksi yang ditumpahkan George Orwell, dijelaskan sebagai penerapan untuk berpikir dua kali. Merubah daya pola pikir dan saat bersamaan memuat dua keyakinan yang bertentangan, tetapi harus menerima keduanya. Hal ini tentunya tak terlepas dengan apa yang digambarkan olehnya seputar prinsip partai, dengan adanya kontradiksi lah kekuasaan yang dipegang oleh partai dapat bertahan lama dipertahankan dan tidak terbatas.
Buku ini pun seolah menggambarkan bahwa di masa yang akan datang kehidupan masyarakat akan diatur sedemikian rupa oleh kekuasaan. Tujuannya agar dunia semakin membentuk tatanan masyarakat yang ideal dan baik menurut kekuasaan. Namun serupa apa yang terjadi saat ini, pasti ada suatu kelompok masyarakat kecil yang menolak semua itu, menentang, dan mencari kebebasan.
Kedua buku ini membangun narasi sosok penguasa yang berusaha untuk mempertahankan kekuasaan rezimnya dengan cara masing-masing, yakni otoriter dan totaliter. Semua masyarakat dituntut dan diharuskan untuk patuh terhadap penguasa, patuh dengan semua perintah rezim agar dunia yang direncanakan tetap sesuai rencana tanpa pemberontakan. Para penguasa pun membuat cara dan aturan untuk membatasi ruang gerak, ruang bicara, dan ruang kebebasan agar masyarakat tak berkutik terkekang pergerakannya. Mendoktrin pikiran dan menyuap narasi-narasi yang telah terkonsep ke masyarakat kian dilakukan sebagai propaganda agar pemberontakan tidak pernah terjadi dan stabilitas keamanan terjaga.