Cara dahsyat yang digunakan untuk mendoktrin masyarakat dalam dua buku ini adalah mengendalikan komunikasi dan informasi, serta cara yang paling dekat menekan langsung dengan mengendalikan bahasa. Hal ini sejalan dengan buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru oleh Daniel Dhakidae yang menjelaskan bahwa, bahasa dapat digunakan sebagai alat kekuasaan, dengan membawa tiga prinsip yaitu akronim, eufimisme, dan disfemisme.
Melihat praktek doktrin penguasa kepada masyarakat, pola ini sebenarnya memang telah terjadi dimana kuatnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Dilansir dari Tirto.id, dalam hal berbahasa Sunda, bahasa ini mengenal undak usuk basa, atau tingkatan berbahasa, serta tata krama berbahasa. Hal-hal yang diatur dalam cara berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan usia, pangkat, jabatan, garis keturunan, dan yang lainnya. Undak usuk basa adalah hasil interaksi kebudayaan dimana dalam banyak ruang berlangsung dengan tidak seimbang. Dikatakan tidak seimbang, karena dahulu kala melibatkan proses kekuasaan politik antara Mataram Islam dan Kolonialisme Belanda.
Hierarki bahasa ini kembali ditegaskan secara konkrit. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi sosial, kini pelan-pelan mulai mengenal tingkatan yakni halus, sedang, dan kasar. Hal ini menjadi kisah keberlanjutan bahasa yang sudah lebih dulu dipraktekkan pada pusat kekuasaan Mataram di Jawa. Contohnya kata “aing”, kata ini kini dikenal sebagai kata teramat kasar, padahal awalnya merupakan bahasa yang biasa saja dengan mencerminkan tidak adanya stratifikasi sosial. Sama hal nya dengan kata “sia” ataupun “maneh” dalam berbahasa Sunda.
Dalam konteks akronim, eufimisme, dan disfemisme yang dijelaskan Daniel Dhakidae dalam buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, bahwa akronim yang diartikan itu merupakan kata-kata yang dimanipulasi atau kata-kata yang digabungkan dengan tujuan jauh dari kebenaran atau dijauhkan dari makna sesungguhnya. Sedangkan eufimisme merupakan perubahan bahasa ungkapan, ungkapan yang dahulunya dianggap kasar oleh pemerintah, akan diubah dan diganti menjadi ungkapan yang halus atau layak untuk digunakan. Lalu disfemisme ialah kata atau ungkapan yang dianggap halus diganti menjadi sebuah ungkapan yang kasar, atau bisa dibilang kebalikan dari eufimisme. Berdasarkan hal ini, hierarki bahasa Sunda sesungguhnya praktek dari prinsip-prinsip bahasa tersebut.
Kembali ke George Orwell dan Aldous Huxley, kedua buku ini memiliki perbedaan, pada 1984 para penguasa menekan atau mengontrol masyarakat untuk takut pada pemerintah. Sedangkan pada buku Brave New World, masyarakat didoktrinisasi dan dikekang oleh pemerintah melalui rasa hormat dan berdedikasi menumbuhkan kebahagiaan dalam kehidupan rakyatnya.
Dengan upaya mempertahankan pemerintahan, kedua buku ini menggambarkan bagaimana ajaibnya propaganda di tangan pemerintah, seperti kata “war is peace, freedom is slavery, ignorance is strength”. Kalimat tersebut cukup kental sebagai propaganda dan selalu hadir dalam 1984. Pemerintah menggunakan media massa untuk memanipulasi setiap pandangan, kebenaran, dan sejarah dari rakyat. Sedangkan dalam buku Brave New World, segala jenis propaganda dihadirkan melalui bentuk lagu-lagu kebahagiaan dan simbol-simbol perbedaan antar kelas sosial. George Orwell dan Aldous Huxley mengisyaratkan bahwa segala pemikiran masyarakat akan dikonstruksi oleh pemerintah, selain itu terdapat juga sesuatu yang bernama hypnopedia, yaitu pemberian nilai-nilai kepada masyarakat ketika sedang lengah dan saat itu juga dimasukkan semua pemahaman oleh pemerintah untuk membentuk pola pikir sesuai dengan keinginan pemerintah.
Selain propaganda, buku-buku ini menggambarakan pula bagaimana kekuatan ekonomi politik komunikasi bekerja didalamnya. Vincent Mosco mendefinisikan ekonomi politik komunikasi dalam bukunya yang berjudul The Political Economy of Communication, bahwa ekonomi politik komunikasi itu sebagai kajian relasi sosial, terutama relasi kekuasaan yang mengkonstitusi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya secara mutual. Proses ekonomi politik komunikasi terlihat pada bagaimana sebuah kekuasaan dioperasikan hingga mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh media massa, serta perilaku konsumen memengaruhi konten dalam media massa.
George Orwell dan Aldous Huxley dalam 1984 dan Brave New World secara cermat mengisyaratkan bagaimana pemerintahan yang terlalu kuat, dan menafsirkan bagaimana pemerintah mengontrol masyarakatnya secara sadar maupun tidak sadar, baik dengan kenikmatan dunia seperti apa yang dijelaskan oleh Aldous Huxley ataupun melalui propaganda serta censorship seperti apa yang dijelaskan oleh George Orwell. Keduanya menjadi tanda peringatan atas apa yang terjadi saat ini, dan sebagian besar hal-hal yang relevan.
Sebagian besar hal-hal yang relevan? Contoh saja ketika Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat saat itu dengan segala kebohongan yang disampaikan pada saat kampanyenya. Hal ini justru menjadi sebuah fakta apa yang disampai oleh Donald Trump, sama halnya pada buku 1984 yang menyebutkan bahwa apa yang disebutkan pemimpin adalah sebuah fakta dan kebanaran, walupun sesungguhnya itu kesalahan nalar.
Apa yang telah terjadi di dunia saat ini, sebenarnya telah magis diterawang imajinasi George Orwell dan Aldous Huxley. Kenikmatan masyarakat Indonesia dengan internet, media sosial, media daring, kebebasan media massa atau apapun itu yang seolah terhipnotis bahwa semua kenikmatan itu bentuk pengawasan dari penguasa. Aldous Huxley dalam Brave New World selalu mengulang-ulang fenomena ini.
Bentuk lainnya, di negara China saat ini sedang menggunakan sistem censorship. Censorship yang diusung Partai Komunis Tiongkok (PKT) merupakan salah satu rezim sensor terketat di dunia. Tujuan dari censorship ini sebagian besar berlandaskan politik, seperti membatasi gerakan oposisi dan menahan setiap peristiwa yang tidak menguntungkan PKT. Xi Jinping menjadi tokoh besar dibalik penyensoran ini, sejak 2012 menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKT (pemimpin tertinggi de facto) penyensoran meningkat secara signifikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengawasi seluruh ruang gerak masyarakat agar memiliki kehidupan yang ideal. Fenomena ini pun selalu menjadi peringatan George Orwell dalam 1984-nya.