Mohon tunggu...
Faby Uran
Faby Uran Mohon Tunggu... Petani -

aku anak Petani, rindu kembali menjadi Petani, membangun kampung halaman.\r\nDengan menulis, kubingkai potret kehidupan berpanorama sudut waktu antara garis pantai dan bukit ladang, kudendangkan sekuat deburan ombak, mewartakan kearifan Lokal yang harus dilindungi, kuletakan jiwaku di belantara pencaharian ini untuk generasi selanjutnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Syair Sastra Sebuah Ziarah Pemaknaan Pesan

16 Juni 2017   10:47 Diperbarui: 16 Juni 2017   21:07 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penuturan sastra dalam setiap ritus adat (Budaya) mengandung nilai-nilai kehidupan. Namun sering keindahaan sastra ini berhenti hanya pada pengucapan saja. Bahkan bukan hanya itu, jika tidak ada refleksi yang mendalam maka, pesan-pesan nilai-nilai kehidupan menjadi bias. Dalam Ilmu Komunikasi dikatakan, sebuah pesan menjadi bermakna ketika penerima pesan dapat menerima dan memahami pesan.

Penuturan sastra adalah bentuk komunikasi nilai-nilai kehidupan. Proses memahami pesan tidak seperti bentuk komunikasi lainnya karena setiap kata memiliki aneka makna, dan setiap kata harus dipahami dalam keseluruhan konteks pesan, dalam konteks kehidupan sosial, budaya, politik dan agama. Selain itu penuturan mengandaikan sebuah proses pengulangan, terus menerus. Tanpa pengulangan sering kedalaman  pesan-pesan tidak ditangkap dengan utuh.

Sebuah syair "Eke Kelepa One Woho, Keregi Puke Wutu" dalam kehidupan masyarakat Lewotobi Desa Birawan  memiliki makna yang teramat mendalam. Etimologis : Eke : Jangan ( baca jangan sampai ), Kelepa : tali dari pelepa pohon tuak, One ( bagian dalam )Woho, di luar. Keregi : Tulang daun pohon tuak, Puke : Batang, Wutu : Ujung.

Eke kelepa one woho : Jangan sampai  (saat menganyam sesuatu) sisi dalam ada di luar,  eke keregi puke wutu : Jangan sampai  ujung tali bagian bawah  di taruh di atas.

Pesan  tersirat dari syair ini  bagi penulis menegaskan tentang beberapa poin yakni

Keterbukaan :

Menyampaikan sebuah pesan harus jelas dan terbuka. Terbuka artinya kebenaran tidak dibolak balikan. Penutur sastra mewakili dirinya dan masyarakat sosial menegaskan identitas mereka sebagai masyarakat yang terbuka, menerima orang lain, berbeda suku, agama secara dengan tangan terbuka dan hati yang ikhlas. Keterbukaaan menegaskan kerelasediaan menerima perbedaan, rasa solider untuk bersahabat dengan yang lain.

Ketegasan  dan Komitmen

Kata eke ( jangan /jangan sampai ) di awal menegaskan  komitmen untuk setiap dengan kebenaran, setia dengan janji persahabatan, setia untuk tidak bermain-main membolak balikkan fakta. Kata ini juga sebagai warning, peringatan bagi penutur,  bagi pendengar juga orang yang dituju.

Warning/Peringatan

Peringatan ini menunjukkan rasa solider untuk tidak membiarkan sesama jatuh dalam dosa,  jatuh dalam pengingkaran nilai-nilai kehidupan. Sering dalam tatanan sosial masyarakat, ada yang bersikap membiarkan sesama mereka jatuh dalam pencobaan. Membiarkan sesama mereka berbuat kesalahan dan menjadi alasan kuat sebagai pembenaran untuk proses litani penghakiman.

Sistim Nilai

Syair ini pun menegaskan tentang sistim nilai yang harus dipahami, dibangun. Bagian dalam untuk bagian dalam, bagian luar untuk bagian luar. Ujung atas untuk atas dan ujung bawah untuk bawah. Sebagai sebuah sistim nilai, pesan dari syair sastra ini menegaskan bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat ada sistim nilai yang harus dihargai, dihormati serta ditaati. Sisitim nilai tidak hanya terletak pada tahapan-tahapan ritus atau kegiatan seremonial tetapi pada cara masyarakat menghadapi dan menyikapi permasalahan yang mereka hadapi.

Terang Sastra dalam Konteks Komunikasi   PembangunanMasa kini.

Sebagai seorang pemimpin yang dipercayakan, janji yang ucapkan adalah tagihan waktu dari para pemberi mandat.  Janji politik harus mampu diperjuangkan, harus mampu direalisasikan. Bukan soal tercapai seratus persen atau tidak tetapi komitmen untuk mewujudkan itu adalah cara seorang pemimpin mengharagai kata-kata yang pernah ia ucapkan.

Membahaskan pesan sastra   sebagai sebuah modal pembangunan, pemerintah harus mampu merefleksikan pesan -pesan abstrak tersebut dalam tataran strategis dan teknis pembangunan.  Sebuah contoh, Desa Birawan di Kecamatan Ile Bura Kabupaten Flores Timur dalam kegiatan Seminar Budaya "Birawan Menuju Pembangunan Desa Berbasis Budaya Ekologis "telah memulai sebuah terobosan bagaimana membangun desa berlandaskan spirit budaya. Nilai-nilai yang abstrak membutuhkan kedalaman peremenungan, intensitas dialog   dalam bahasa daerah disebut "Genua ulu ". Artinya seorang pemimpin harus menjadi inisiator dalam membangun komunikasi dengan segenap elemen masyarakat.

Sebagai sebuah sistim nilai, pola komunikasi pembangunan harus didesign agar segenap masyarakat, para bawahan mampu menangkap pesan, memahami dengan benar nilai-nilai yang diperjuangan serta bersama-sama berkomitmen mewujudkan nilai-nilai tersebut. Oliver Garceau (dalam Dan Nimmo, 1994) menulis tentang proses politik sebagai pola interaksi yang berganda, setara, bekerja sama, dan bersaingan yang menghubungkan warga negara partisipan yang aktif dalam posisi utama pembuat keputusan. Serupa dengan Garceau, Nurudin (2004) menyatakan sebagai proses politik, komunikasi menjadi alat yang mampu mengalirkan pesan politik ke kekuasaan untuk diproses. Proses itu kemudian dikeluarkan kembali dan selanjutnya menjadi umpan balik (feedback).

 Dalam menjalankan Visi Misinya, seorang pemimpin dibantu oleh para perangkatnya. Kepala Desa dibantu dengan perangkat desa, Bupati dibantu dengan Satuan Kerja  Perangkat Daerah. Para bawahan ini pun harus mampu membaca pesan-pesan dari pemimpin  baik tersurat maupun tersirat agar mereka tidak gagap dalam menterjemahkan maksud pimpinan.

Bagaimana pun setiap pesan yang disampaikan, dimandatkan kadang sering terjadi distorsi, penyimpangan pesan. Distrosi ini terjadi karna keterbatasan pengetahuan dan pemahaman dari penerima pesan atau juga karena disengaja untuk dibelokkan. Untuk mengatasi distrosi ini, seorang pemimpin harus memastikan ulang si penerima pesan memahami dengan benar pesan yang disampaikan. Dalam Ilmu komunikasi dikenal dengan istlah Pengulangan. Fungsi pengulangan ini bertujuan untuk memastikan kebenaran pesan.

Ruang Kelas, Ruang Pemaknaan Pesan

Seorang guru, ketika ia dalam keseharian hidupnya mengingkari nilai-nilai kehidupan, tidak menghargai waktu, tidak menyiapkan diri dengan baik sebelum masuk ruang belajar, tidak mampu membaca dan mendorong anak mengoptimalkan potensi mereka maka ia Guru sedang menuliskan kata-kata : Guru, untuk digugat dan digusur. Ruang belajar adalah proses pemaknaan pesan-pesan, baik dalam kata-kata maupun simbol simbol. Ruang pemaknaan pesan tidak hanya berhenti pada ruang kelas saja tetapi dalam keseluruhan aktivitas hidup. Dapat dikatakan seorang guru adalah sumber informasi, orang yang mampu memfilter setiap pesan, informasi. Dan dengan bijak menyampaikan pesan-pesan, informasi-informasi tersebut ke masyarakat. Sebuah pertanyaan, ketika seorang guru gagap dalam memahami pesan, bagaimanakah makna pesan dapat tersajikan dengan benar?

Membiasakan para peserta didik membaca buku-buku sastra, menceritakan isi buku, berdogeng, membuat tulisan-tulisan khususnya tentang kearifan lokal, tentang kata-kata sastra daerah adalah cara terindah menyiapkan mereka menjadi generasi yang melek budaya, generasi yang tidak gagap memahami pesan-pesan abstrak dari warisan-warisan budaya. Untuk itu seorang guru dituntut untuk rajin membaca dan menulis. Gurus harus menjadikan hari-harinya sebuah proses meditasi, sebuah proses permenungan agar ia terus menjadi sumber inspirasi, sumber mata air pengetahuan bagi peserta didik dan masyarakat di sekitarnya.

Setiap kita, apapun profesi kita, hendaknya kita menyadari bahwa kita sedang memainkan peran sebagai pembawa kabar gembira, kabar sukacita, kabar kebenaran.  Ada banyak berita Hoax, berita bohong yang beredar di dalam masyarakat dengan tingkat akses informasi yang sangat cepat dan mudah.  Ketika kita mudah percaya pada berita hoax, ketika kita dengan mudah menerima berita, pesan tanpa menyaring dulu, mencari informasi pembanding maka kita sedang meneruskan proses distrosi, penyimpangan pesan.  Kita adalah komunikator yang dituntut untuk bijak menyaring infromasi dan bijak menyajikan pesan.  Kasus Ahok adalah sebuah bukti bagaimana kata-kata yang diucapkan dengan mudah dimanipulasi demi kepentingan politik. Dari kasus Ahok kita belajar bagaimana suara kegelapan begitu gencar mengancurkan kebenaran, begitu kuat dan massive mengukung para pejuang kebenaran dan keadilan.

Ketika ruang pemahaman kata-kata sastra kehilangan dimensinya, ketika waktu penuturan sastra tergantikan dengan sinetron,  ketika seorang pemimpin mengabaikan ruang pemaknaan budaya dalam program tahunan, ketika komitmen seorang guru luntur dengan sikap asal-asalan, kita sedang menambah daftar litani kematian budaya, kematian sastra dan kematian rasa kemanusiaan yang terbuka, solider. Kita sedang mengingkari tugas kita sebagai orang yang diutus untuk menyampaikan kabar sukacita, kabar yang menyelamatkan, kabar yang mendayagunakan segala potensi dan bakat demi terwujudnya kesatuan relasi harmonis dengan Tuhan,  sesama dan alam.

Ia Tuhan Sang Sabda yang menanamkan cita rasa sastra  sedang menanti pertanggungjawaban kita.

URAN, Faby Uran, S,Ikom.

Tinggal di Lewotobi Desa Birawan Kecamatan Ile Bura

Beberapa sumber referensi tulisan

http://cokinew.blogspot.co.id/2016/02/pengertian-komunikasi-antar-budaya.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun