Mohon tunggu...
Faby Uran
Faby Uran Mohon Tunggu... Petani -

aku anak Petani, rindu kembali menjadi Petani, membangun kampung halaman.\r\nDengan menulis, kubingkai potret kehidupan berpanorama sudut waktu antara garis pantai dan bukit ladang, kudendangkan sekuat deburan ombak, mewartakan kearifan Lokal yang harus dilindungi, kuletakan jiwaku di belantara pencaharian ini untuk generasi selanjutnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memotret Proses Tenun Ikat Sarung di SMPK Ile Bura

15 Februari 2016   20:02 Diperbarui: 16 Februari 2016   08:50 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana kelas hari ini, Senin 15 Februari 2016 di Kelas 7B SMPK Ile Bura sangat ramai. Setiap siswa baik laki-laki maupun perempuan berebutan mengambil bagian dalam proses pembuatan Sarung. Para sisiwa di bagi dalam dua kelompok, para siswa membantu menyiapkan benang (bolo kape) dan para siswi membentuk motif pada rajutan benang yang dipasang pada dua sisi kayu (slaga)
[caption caption="Para siswi kelas 7B belajar membuat motif sarung (foto:Uran Oncu)"][/caption]Sekian tahun keterampilan tenun ikat tidak menghiasi bumi SMPK Ile Bura karena ada anggapan bahwa keterampilan ini hanya diajarkan di rumah. Namun realita menunjukkan bahwa keterampilan ini perlahan hilang seiring para “penenun” memasuki usia senja dan generasi mudah umumnya masih gagap mengembang warisan budaya ini. Mental serba instan adalah satu dari sekian alasan generasi mudah kurang menaruh minat pada keterampilan membuat sarung.

 

Menyadari pentingnya mempertahankan dan mengembangkan warisan sosial budaya ini maka SMPK Ile Bura sebagai lembaga pendidikan milik Umat Katolik Keusukupan Larantuka mengembangkan mata pelajaran seni budaya, satu di antaranya adalah keterampilan tenun ikat. Sejalan dengan Visinya sekaligus sebagai mandat dari Renstra SMPK Ile Bura “Terwujudnya Lembaga Pendidikan Katolik yang Berkualitas, Beriman, Berbudaya dan Berdaya Saing” pelajaran keterampilan tenun ikat menegaskan bahwa lembaga pendidikan ini berasal dari masyarakat, berbasis budaya dan agama.

Sekolah sebagai tempat permenungan intelektual juga serentak merupakan media bagi para peserta didik dan para pendamping untuk merajut refleksi intelektualitas dalam karya-karya keterampilan. Melalui proses refleksi yang berpijak pada realitas sosial budaya, lembaga pendidikan mewujudkan dirinya sebagai media bagi para siswa untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia yang dipersiapkan untuk mengembang tugas gereja, negara dan lewotana.

Pendidikan keterampilan tenun ikat merupakan sebuah proses yang terintegrasi, berkelanjutan dan berdaya transformatif. Sebagai proses pendidikan yang terintegrasi, keterampilan tenun ikat merupakan keterampilan yang harus diajarkan di sekolah juga di rumah. Kebiasaan para siswa dan siswi membantu ibu atau saudarinya dalam proses tenun ikat di rumah serta terlibat dalam setiap proses direfleksikan lebih mendalam ketika keterampilan ini diajarkan di sekolah.

Artinya di sekolah para siswa tidak hanya diajarkan keterampilan tetapi para siswa juga dilatih untuk melakukan refleksi kritis atas setiap proses yang jalani. Proses pendidikan keterampilan tidak hanya berhenti pada tataran penguasaan keterampilan tetapi lebih dari itu adalah kesanggupan para siswa dalam mengeksplorasi nilai-nilai kehidupan, membahasakan dalam bentuk tulisan ataupun bentuk lainnya. Inilah yang disebut berdaya berkelanjutan.

Setiap proses yang dilalui menjadi sebuah seni Transformatif. Keberlanjutan menjadi bermakna ketika para siswa menyadari bahwan setiap nilai yang mereka temukan serentak memanggil mereka untuk menghayati nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka. Sebuah potret kecil dalam diri Margareta Ela Muda, gadis kelas 7B kelahiran Lewouran, 17 November 2002 ini menunjukan bagaimana proses sebuah pendidikan berbasi budaya ini. Ela, sapaan gadis yang ingin jadi guru, sejak ia berusia SD ia telah terbiasa membantu ibunya dalam proses tenun ikat.

Dan ketika lomba Desa Birawan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2015, ia bersama teman-temannya tampil bersama para generasi tua mempertunjukan keterampilan dalam proses membuat sarung. Dan saat ia menginjak usia Sekolah Menengah Pertama ia tidak gagap lagi merangkai motif. Gambar motif yang disajikan oleh guru Ibu Maria Goreti Bare Kedang dengan mudah ia terjemahkan dalam kelincahan jemarinya mengingkat tali pada bentangan benang untuk menjadi sebuah motif.

[caption caption="Ela belajar membuat motif & Para siswa menggulung benang yang disebut Bolo Kape (foto:Uran Oncu)"]

[/caption]

Keterampilan ini juga tidak hanya menjadi milik para siswi. Para siswa juga mampu merangkai motif. Antonius Daton Tobi, siswa kelas 7 B asal Desa Riangbura juga mampu merangkai motif. Rahasianya adalah kebiasaan Anton, sapaan siswa kelahiran 8 September 2002 ini dalam membantu ibunya di setiap proses tenun sarung. Sosok Anton menegaskan bahwa keterampilan tenun ikat bukan hanya identik dengan perempuan tetapi keterampilan ini bisa dimainkan oleh kaum lelaki khususnya dalam setiap proses persiapan semua bahan sampai pada proses menenun. Sedangkan untuk kegiatan menenun secara budaya hanya diperankan oleh kaum perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun