Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Yufi
Muhammad Luthfi Yufi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar MTsN Padang Panjang

Hobiku memasak dan fotografi, dan keduanya selalu membuat hariku lebih seru! Memasak adalah petualangan rasa—seperti bermain dengan palet warna, tapi dengan bumbu dan bahan makanan. Setiap masakan adalah eksperimen kecil, dan rasanya selalu menyenangkan ketika berhasil menciptakan hidangan yang enak. Fotografi, di sisi lain, adalah cara favoritku untuk mengabadikan momen-momen ajaib yang kadang terjadi begitu saja. Dengan kamera di tangan, rasanya seperti memegang kunci untuk menghentikan waktu. Plus, belajar editing itu seperti memberi sentuhan sihir pada fotoku—membuatnya lebih hidup dan memuaskan. Hobi-hobi ini tidak hanya membuat hariku lebih berwarna, tapi juga membawaku lebih dekat dengan hal-hal yang aku cintai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warisan Rasa dari Koto Gadang

21 November 2024   16:18 Diperbarui: 21 November 2024   16:24 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budi, seorang pemuda Koto Gadang, duduk termenung di ruang tamu rumahnya yang sepi. Sudah dua tahun sejak kepergian ibunya, tetapi aroma masakan khas sang ibu masih terasa di ingatannya. Salah satu hidangan yang paling dirindukannya adalah Ayam Lado Hijau. Rasa pedas segarnya selalu menjadi pengobat lelah di hari-hari berat. Namun, sejak ibunya tiada, masakan itu hanya tinggal kenangan.

Sore itu, ketika Budi tengah membersihkan lemari dapur, ia menemukan sebuah buku resep tua. Halamannya sudah menguning, tetapi tulisan tangan ibunya tetap terbaca jelas. Ia membuka-buka halaman dengan penuh rasa haru hingga menemukan catatan bertuliskan "Ayam Lado Hijau Khas Koto Gadang". Mata Budi berbinar.

"Ini dia! Resep yang selama ini aku cari," gumamnya, suaranya bergetar. Ia merasa terpanggil untuk mencoba memasaknya sendiri.

Dengan semangat, Budi mengambil tas dan bergegas menuju pasar tradisional. Di sana, ia membeli seekor ayam kampung yang masih segar. "Ayam kampung lebih gurih, cocok untuk masakan lado hijau," ujarnya pada penjual ayam sambil tersenyum.

Di kios rempah-rempah, Budi memilih cabai hijau besar, tomat hijau, bawang merah, bawang putih, dan beberapa lembar daun jeruk. Penjual rempah, seorang wanita tua yang mengenal ibunya, tersenyum hangat. "Budi, kamu mau masak apa? Kalau pakai daun jeruk, pasti masakan ibumu, ya?" tanyanya.

Budi hanya mengangguk, merasa nostalgia menyelimuti hatinya. Setelah membeli minyak kelapa di kios terakhir, ia kembali ke rumah dengan bahan-bahan lengkap di tangannya.

Di dapur, Budi mencuci ayam dengan hati-hati, memotongnya menjadi beberapa bagian. Ia meletakkan potongan ayam ke dalam panci dan merebusnya dengan api kecil. Uap panas mulai menguar, membawa aroma khas kaldu ayam kampung yang lembut.

Sambil menunggu ayam empuk, ia mulai mempersiapkan bumbu. Budi mencuci cabai hijau dan tomat, lalu mengiris bawang merah dan bawang putih. Ia mengambil cobek besar yang sudah lama tak digunakan, lalu mulai mengulek semua bahan.

"Tangan harus kuat, cobek lebih baik daripada blender," gumam Budi, mengingat kebiasaan ibunya. Suara tumbukan bumbu terdengar memenuhi dapur, menghadirkan aroma pedas segar dari cabai dan tomat.

Setelah bumbu halus siap, Budi memanaskan minyak kelapa di wajan besar. Begitu minyak mulai berdesis, ia memasukkan bumbu ulek. Aroma harum langsung memenuhi ruangan, seolah membawa kenangan masa kecil kembali ke dalam hidupnya.

Ia menambahkan daun jeruk ke dalam tumisan, mengaduk perlahan agar aromanya keluar sempurna. Setelah bumbu matang, ayam yang telah direbus dimasukkan ke dalam wajan. Suara desis bumbu dan ayam bercampur menjadi simfoni yang menenangkan hati Budi.

Dengan hati-hati, ia menuangkan sedikit air kaldu ayam ke dalam wajan agar bumbu lebih meresap. Ia menambahkan garam secukupnya, mencicipinya dengan sendok kecil. Senyumnya mengembang, rasanya sudah mendekati buatan ibunya.

Setelah 10 menit memasak, Ayam Lado Hijau itu akhirnya matang. Warna hijau cabai yang cerah berpadu sempurna dengan ayam kampung yang empuk. Budi menyajikannya di atas piring saji, lalu duduk di ruang makan dengan penuh haru.

Ketika ia mencicipi suapan pertama, kenangan masa kecil langsung menyeruak. Rasa pedas, segar, dan gurih mengingatkannya pada ibunya yang selalu memasak dengan cinta. Mata Budi basah, ia berbisik pelan, "Bu, aku berhasil."

Sejak hari itu, Budi sering memasak Ayam Lado Hijau untuk dirinya sendiri, tetangga, dan teman-temannya. Masakan itu bukan sekadar hidangan, tetapi simbol cinta dan kenangan yang tak tergantikan. Bagi Budi, setiap gigitan adalah cara untuk tetap merasa dekat dengan ibunya, meski ia telah tiada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun