Budi, seorang pemuda Koto Gadang, duduk termenung di ruang tamu rumahnya yang sepi. Sudah dua tahun sejak kepergian ibunya, tetapi aroma masakan khas sang ibu masih terasa di ingatannya. Salah satu hidangan yang paling dirindukannya adalah Ayam Lado Hijau. Rasa pedas segarnya selalu menjadi pengobat lelah di hari-hari berat. Namun, sejak ibunya tiada, masakan itu hanya tinggal kenangan.
Sore itu, ketika Budi tengah membersihkan lemari dapur, ia menemukan sebuah buku resep tua. Halamannya sudah menguning, tetapi tulisan tangan ibunya tetap terbaca jelas. Ia membuka-buka halaman dengan penuh rasa haru hingga menemukan catatan bertuliskan "Ayam Lado Hijau Khas Koto Gadang". Mata Budi berbinar.
"Ini dia! Resep yang selama ini aku cari," gumamnya, suaranya bergetar. Ia merasa terpanggil untuk mencoba memasaknya sendiri.
Dengan semangat, Budi mengambil tas dan bergegas menuju pasar tradisional. Di sana, ia membeli seekor ayam kampung yang masih segar. "Ayam kampung lebih gurih, cocok untuk masakan lado hijau," ujarnya pada penjual ayam sambil tersenyum.
Di kios rempah-rempah, Budi memilih cabai hijau besar, tomat hijau, bawang merah, bawang putih, dan beberapa lembar daun jeruk. Penjual rempah, seorang wanita tua yang mengenal ibunya, tersenyum hangat. "Budi, kamu mau masak apa? Kalau pakai daun jeruk, pasti masakan ibumu, ya?" tanyanya.
Budi hanya mengangguk, merasa nostalgia menyelimuti hatinya. Setelah membeli minyak kelapa di kios terakhir, ia kembali ke rumah dengan bahan-bahan lengkap di tangannya.
Di dapur, Budi mencuci ayam dengan hati-hati, memotongnya menjadi beberapa bagian. Ia meletakkan potongan ayam ke dalam panci dan merebusnya dengan api kecil. Uap panas mulai menguar, membawa aroma khas kaldu ayam kampung yang lembut.
Sambil menunggu ayam empuk, ia mulai mempersiapkan bumbu. Budi mencuci cabai hijau dan tomat, lalu mengiris bawang merah dan bawang putih. Ia mengambil cobek besar yang sudah lama tak digunakan, lalu mulai mengulek semua bahan.
"Tangan harus kuat, cobek lebih baik daripada blender," gumam Budi, mengingat kebiasaan ibunya. Suara tumbukan bumbu terdengar memenuhi dapur, menghadirkan aroma pedas segar dari cabai dan tomat.
Setelah bumbu halus siap, Budi memanaskan minyak kelapa di wajan besar. Begitu minyak mulai berdesis, ia memasukkan bumbu ulek. Aroma harum langsung memenuhi ruangan, seolah membawa kenangan masa kecil kembali ke dalam hidupnya.
Ia menambahkan daun jeruk ke dalam tumisan, mengaduk perlahan agar aromanya keluar sempurna. Setelah bumbu matang, ayam yang telah direbus dimasukkan ke dalam wajan. Suara desis bumbu dan ayam bercampur menjadi simfoni yang menenangkan hati Budi.
Dengan hati-hati, ia menuangkan sedikit air kaldu ayam ke dalam wajan agar bumbu lebih meresap. Ia menambahkan garam secukupnya, mencicipinya dengan sendok kecil. Senyumnya mengembang, rasanya sudah mendekati buatan ibunya.
Setelah 10 menit memasak, Ayam Lado Hijau itu akhirnya matang. Warna hijau cabai yang cerah berpadu sempurna dengan ayam kampung yang empuk. Budi menyajikannya di atas piring saji, lalu duduk di ruang makan dengan penuh haru.
Ketika ia mencicipi suapan pertama, kenangan masa kecil langsung menyeruak. Rasa pedas, segar, dan gurih mengingatkannya pada ibunya yang selalu memasak dengan cinta. Mata Budi basah, ia berbisik pelan, "Bu, aku berhasil."
Sejak hari itu, Budi sering memasak Ayam Lado Hijau untuk dirinya sendiri, tetangga, dan teman-temannya. Masakan itu bukan sekadar hidangan, tetapi simbol cinta dan kenangan yang tak tergantikan. Bagi Budi, setiap gigitan adalah cara untuk tetap merasa dekat dengan ibunya, meski ia telah tiada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H