Bila antarpemangku kepentingan masih saling "ngotot" menunda atau melanjutkan pilkada, akan memicu keraguan bagi pemilih dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu.
Problem kesehatan publik dan menjaga demokrasi, dua-duanya tidak akan terpecahkan, yang ada hanya saling adu kuat argumentasi mendukung atau menolak pilkada.
Penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik dan kandidat peserta pilkada, maupun masyarakat sipil, secara kolektif sudah harus selangkah lebih maju membahas mengantisipasi potensi permasalahan yang akan terjadi.
Pilkada yang demokratis, aman dan sehat harus kita wujudkan bersama-sama. Kesetaraan kompetisi antarkandidat, pemenuhan hak pilih dan penyelenggara pemilu dengan protokol kesehatan yang ketat harus kita jaga. Jangan sampai, habis pilkada terbitlah wabah corona cluster pilkada jika protokol kesehatan diabaikan.
Menarik sebuah benang merah dari kata Pilkada, Pandemi dan cinta hal terpopuler tersebut diatas, jika dilihat lebih dalam politik tersebut lebih condong pada praktisi, sedangkan cinta bersifat fitrawi, mungkin ketika keduanya digabungan bisa melahirkan sebuah asimilasi yang cukup menarik seperti "Politik berasaskan Cinta" atau "Perpolitikan Cinta" entahlah, namun ketika kedua hal tersebut dapat dielaborasikan pastilah dapat menghasilkan sebuah hal yang sangat menarik pada pelaksanaan pilkada di tengah Pandemi ini.
Mari sama-sama saling mencintai dan menghargai nilai-nilai kemanusian serta kesehatan dengan berpolitik yang santun dan senantiasa menerapkan protokol kesehatan agar menghasilkan Pilkada yang berkualitas.
Ditulis oleh M. Taupik Rahman (Ketua Panwaslu Kecamatan Labuan Amas Selatan)
(Barabai,20 September 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H