Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya. Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal.
Secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontraproduktif dalam situasi penanganan Covid-19.
Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standart pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala.
Bayangkan, potensi masalah politik dan hukumnya jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu. Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat.
Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi. Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.
Gara-gara pandemi bisa dijadikan alasan bagi pemerintah otoritarian untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya dengan menghilangkan hak asasi paling mendasar yakni hak politik untuk memilih dan dipilih. Secara hukum, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi memiliki payung hukum yang kuat yakni Perppu No 02 Tahun 2020.
Artinya, pelaksanaan pilkada bukan semata kemauan KPU sebagai penyelenggara tetapi amanat undang-undang dalam hal ini Perppu. Menggelar pilkada di tengah pandemi juga dapat menjadi pengalaman baru bagi penyelenggara dan pengawas pemilu di Indonesia.
Publik tidak perlu ragu, penyelenggara pemilu di Indonesia sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilu yang seringkali sistem dan aturan mainnya berubah.
Lha gimana, Undang-Undang Pemilu dan Pilkadanya saja sering berubah-ubah, baik di rubah oleh DPR, di judicial review di MK ataupun tiba-tiba ada Perppu dari pemerintah.
Bergandengan tangan dengan penuh cinta, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan kepemiluan baik penyelenggara dan pengawas pemilu, masyarakat sipil, pemerintah, partai politik, dan peserta pilkada bergandengan tangan, bersama-sama melindungi kesehatan publik sekaligus menjaga demokrasi.
Keyakinan bahwa pemilu adalah instrumen penting untuk memperkuat demokrasi sekaligus menegakkan kepastian hukum perlu digaungkan.