Contoh lain dampak negatif dari sosial media adalah interaksi antara individu kian menurun. Hal tersebut disebabkan pengguna gawai lebih nyaman dengan gawainya. Hal tersebut dapat berpengaruh pada kesehatan mental, adanya informasi hoax yang mungkin siswa belum siap dan belum paham apakah info tersebut valid atau tidak.
Meskipun begitu, kita semua juga paham bahwa kehadiran sosial mendekatkan yang jauh dan juga terkomunikasi dengan cepat dan informasi akselerasinya lebih massive dan rapid. Sebagai pengajar dan pendidik di era kebaruan ini, maka perlu banget bahwa NALAR sangat bisa diaplikasikan. Dengan kata lain, Niatkan untuk berbuat baik untuk Tuhan, Afirmasikan secara positif agar berdampak positif dan membias lebih luas serta terus belajar sepanjang hayat dengan bahagia.
Dengan kebahagiaan dalam berproses dan memahat dalam rangka upgrading potensi pengembangan diri sebagai identitas profesional sebagai guru maka guru akan mulai menata hati dan membereskan hati. Dengan hati yang beres, maka apa pun yang diikuti, dilakukan, tantangan yang ada maka akan senang hati menjalaninya.
Sejalan dengan pemikiran KHD, mengutip pemikiran dari penyair besar Indonesia, Umbu Landu Peranggi (balairungpress.com/2018) mengatakan, pendidikan kita selama ini mengarahkan kita menjadi “Habibi-Habibi”. Itu wajar dan normal, tetapi perjalanan hidup sebagai manusia tidak selalu begitu. Prestasi ilmiah harus setara dengan prestasi insaniah.
Tak cukup kita ke bulan, ke langit, tanpa di topang kekayaan batin. Semua yang rasional ada batasnya. Bekal semacam ini wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Dari pendapat KHD dan juga Umbu dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan yang mengarah pada kebahagiaan lahir dan batin akan menjadikan manusia sejati atau manusia yang sadar kedudukannya atau insaniahnya.
Butuh perjalanan yang variatif dan sadar betul bahwa batas nalar atau akal itu berbatas, namun kebaikan hati yang bersujud kepada Tuhannya lah yang tanpa batas dan membias menjadi energi positif di alam semesta raya ini.
Selanjutnya Imam Ghazali juga mengungkapkan bahwa akal adalah panglima perang sedangkan Qolbu adalah rajanya. Oleh karena itu, sebagai pendidik yang sejalan dengan pemikiran KHD sebaiknya memulai dari diri.
Menggunakan NALAR untuk tetap konsisten dan berkomitmen dalam jalur pendidikan untuk generasi hebat negeri dengan cara membereskan hatinya dulu. Jika sudah demikian maka mengajar dan mendidiknya sudah diniati untuk mengafirmasi hal positif dan belajar bersama muridnya membentuk budaya potif yang berbudi pekerti yang luhur dengan selamat dan bahagia bersama.
Sehingga guru yang hebat mengultivasi diri dalam pembelajaran yang berpihak pada murid serta terdiferensiasi dengan tetap mengoneksikan kekuatan budaya leluhur bangsa Indonesia tercinta ini maka akan terbentuk generasi yang berkemampuan hebat, berhati besar dan menjadi leader di masa depan negeri kita untuk lebih baik lagi, dan lebih baik lagi.
Dengan demikian pendidikan memang harus bersifat holistik. Sehingga generasi yang muncul merupakan generasi terpilih yang memiliki karakter yang hebat dan dapat menjadi problem solver problem solver yang Handal dan amanah. Namun demikian kita juga memahami bahwasanya, pendidikan holistik sebaiknya juga menuntun ke arah keberlanjutan alam semesta dan lingkungan sekitarnya. Perilaku yang peduli akan alam dimulai dari diri, keluarga, sekolah dan masyarakat sekitarnya.
Murid dididik dalam pengelolaan sampah dan juga budaya positif peduli akan kebersihan lingkungannya. Seperti yang dikatakan oleh Prof Asep (2021) bahwa pengembangan jiwa kolektivisme, gotong-royong, kerja sama, dan pengelolaan ego langsung ditangani di kelas-kelas dasar. Dengan kata lain pendidikan holistik memosisikan pendidik/guru sebagai motivator dan tak mengekang kebebasan berpikir siswa.